Breaking News

APAKAH HILAL ITU?


Terkait hilal, di dalam al-Qur’an disebutkan hanya satu kali, itu pun dalam bentuk plural (jamak) yakni al-ahillah. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 189,

Mereka bertanya kepadamu tentang sabit Bulan. Katakanlah: “Sabit Bulan itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji (QS. al-Baqarah : 189)

Adapun dalam hadis, Rasulullah SAW banyak menyebut kata hilal. Di antaranya:

Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan hilal itu sebagai pertanda waktu bagi kepentingan manusia, maka shaumlah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramdhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika tidak kelihatan oleh kalian maka hitunglahlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan) menjadi 30 hari” (HR. Abdur Razaq, al-Mushannaf, IV : 156, No. 7306).

Dalam riwayat al-Baihaqi dengan tambahan redaksi:

“Jika tidak kelihatan oleh kalian maka perkirakanlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan), sempurnakanlah menjadi 30 hari” (Lihat, as-Sunan al-Kubra, IV : 205, No. 8185).

Perlu diketahui bahwa kata "hilal" bukanlah haqiqah syar'iyyah, tapi merupakan haqiqah lughawiyyah*). Tidak seperti halnya kata "shalat". Kata "shalat" secara haqiqah lughawiyah memiliki arti ad-Du’a (doa). Kemudian kata "shalat" ini menjadi haqiqah syari’yyah dengan pengertian: “Sebuah perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”.

Sementara kata hilal sudah dikenal oleh orang Arab sebelum Islam datang dan syari'at tidak menetapkan istilah khusus untuk kata ini. Dengan demikian, hilal menurut haqiqah syari’yyah sama dengan haqiqah lughawiyyah. 

Oleh sebab itu untuk mengetahui definisi hilal yang dimaksud syar’i, kita mesti mengetahui arti kata hilal secara haqiqah lughawiyyah itu sendiri. Untuk itu seyogyanya hilal dicari maknanya secara analisis semantik dan analisis struktur kalimat dalam bahasa Arab.

Analisis Semantik

Makna asal dari kata hilal pada awal mula kata ini diciptakan oleh orang-orang arab adalah berarti: al-Bayadhu, artinya: Putih. Oleh karena itu, warna putih dipangkal kuku-pun sering disebut orang arab dengan kata hilal.

Hilal itu makna asalnya adalah putih. (al-Faaiq IV : 111).

Hilal adalah warna putih yang nampak pada pangkal kuku. (Lisanul 'Arab XI : 704). 

Adapun kenapa qamar pada awal bulan disebut hilal, maka hal ini dikarenakan qamar tersebut memiliki cahaya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mandzur:

Hilal adalah cahaya Bulan, ketika orang-orang meneriakinya pada waktu awal bulan. (Lisanul Arab XI : 704).

Kemudian arti kata hilal berkembang dengan arti "teriakan/suara keras". Hal ini karena ketika mereka melihat hilal (sabit Bulan pertama di awal bulan yang bercahaya putih) mereka suka berteriak-teriak. Maka "berteriak" itulah dalam perkembangan selanjutnya yang dijadikan arti untuk kata "hilal". Seperti dalam sebuah hadis,

Apabila seorang anak istahalla maka dia mewarisi dan (jika meninggal) dishalatkan. (HR. al-Baihaqi IV : 8).

Dari analisis semantik ini dapat disimpulkan bahwa: hilal itu adalah qamar pada awal bulan yang memiliki cahaya.

Analisis Strukrut Kalimat

Dalam hadis di atas -dan hadis-hadis yang semakna dengannya- kata hilal dirangkaikan dengan kata ra-a. Dalam bahasa arab kata ra-a (رأى) mempunyai dua arti: (1) melihat dengan mata (bil ’ain) dan (2) mengetahui atau yakin (bil 'ilmi). Untuk mengetahui arti manakah yang dipakai olehnya dalam suatu kalimat, hal ini dapat dilihat dari objeknya. Bila objeknya satu maka berarti ra-a tersebut bermakna melihat dengan mata, dan bila objeknya dua, maka ra-a tersebut bermakna yakin atau mengetahui (melihat dengan ilmu). Sebagaimana dikatakan dalam Lisanul 'Arab:

Kata ra-a artinya melihat dengan mata bila muta’addi kepada satu maf’ul, dan dengan arti mengetahui bila muta’addi kepada dua maf’ul. (Lisanul Arab XIV : 291).

Setelah memperhatikan sabda Nabi SAW dalam beberapa hadis dapat disimpulkan bahwa kata ra-a dalam hadis-hadis Nabi tersebut bermakna melihat dengan mata, karena ra-a tersebut hanya memiliki satu maf’ul (objek) yaitu: hilal.

Dari analisis struktur kalimat ini dapat disimpulkan bahwa: hilal adalah cahaya qamar pada awal bulan yang bisa terlihat oleh mata.

Bertolak dari analisis di atas, maka definisi hilal menurut Haqiqah Lughawiyah orang-orang arab adalah harus memenuhi dua variabel di atas yakni Qomar pada awal bulan yang: (1) memiliki cahaya, dan (2) Bisa teramati oleh mata.

Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa hilal adalah: “Cahaya bulan baru setelah didahului proses ijtimak, cahaya bulan tersebut bisa terlihat dengan mata, dan posisi bulan harus berada di atas ufuk”.

Dengan demikian kalaupun ijtimak sudah terjadi (sebagai tanda akhir bulan) serta ketika ghurub bulan memiliki cahaya baik berada di bawah ufuk atau berada di atas ufuk namun cahayanya tidak bisa dilihat oleh mata, maka tidak disebut Hilal.

Karena kata hilal ini adalah haqiqah lughawiyah yang dipakai oleh syar’i, maka secara syar’i pun maknanya sama dengan haqiqah lughawiyah.

Bagaimana dengan kata hilal yang ada dalam al-Qur’an? Dalam sebuah keterangan Syaikh al-Maghamisi mengatakan:

Pada dasarnya bahwa Kalam (firman) Allah itu berlaku sebagaimana zhahirnya dalam makna-makna kalam (ucapan) bahasa Arab, kecuali bila ada qarinah atau dalil yang memalingkan dari makna zhahirnya. (Durus wal Muhadharah as-Syaikh Shalih al-Maghamisy III : 1).

Jadi nyatalah bahwa hilal yang dimaksudkan Allah dalam firman-Nya juga Nabi Muhammad SAW dalam sabda-sabdanya, mempertimbangkan dua variabel, yaitu: (1) memiliki cahaya, (2) bisa teramati oleh mata.

Dari analisis di atas kita dapat menilai bahwa kreteria hisab Imkan Rukyat yang juga dikenal dengan istilah visibilitas hilal, merupakan hasil ijtihad yang sesuai syar’i, untuk menetapkan awal bulan untuk ibadah. Karena, selain memperhitungkan wujudnya Bulan di atas ufuk, juga memperhitungkan keterlihatan cahaya sabit Bulan (hilal) oleh mata.

*) Ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni [1] al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau sebenarnya. Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan yang arti haikinya secara bahasa adalah hayawanun natiqun (binatang yang berakal). Jika pemakiannya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah, seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah yang dipakai untuk semua binatang yang berkaki empat. Jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan khusus disebut haqiqah ‘urfiyyah khasah. [2] al-majaz, yaitu lafal yang digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya lafal haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum dalam surat al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti lafal dabbah yang arti majazinya adalah setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi. [3] sharih, yaitu lafal yang jelas maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal sharih, karena jelas sekali maksudnya. [4] al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya karena tidak termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan untuk memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)

No comments