Breaking News

PERSIS: RUKYAT LOKAL ATAU RUKYAT GLOBAL





Secara garis besar ada dua pendapat mengenai keberlakuan penetapan awal bulan Hijriah.
Pendapat pertama, penetapan awal bulan Hijriah berlaku secara lokal sesuai mathla masing-masing tempat, dan tidak berlaku bagi daerah yang jauh (tidak se-Mathla). Mathla menurut bahasa adalah:
الْمَطَالِعُ فِي اللُّغَةِ جَمْعُ مَطْلَعٍ - بِفَتْحِ اللاَّمِ وَكَسْرِهَا - وَهُوَ مَوْضِعُ الطُّلُوعِ أَوِ الظُّهُورِ
Artinya: Maṭali menurut bahasa adalah kata plural dari Mathla (lam nya dikasrah dan atau di fathah), adalah tempat terbit atau tempat tampak[1]. 
Menurut Istilah:
وَهُوَ مَوْضِعُ الطُّلُوعِ أَوِ الظُّهُورِ، وَيُقْصَدُ بِهِ - هُنَا - مَوْضِعُ طُلُوعِ الْهِلاَل مِنَ الْغَرْبِ
Artinya: (Mathla) adalah tempat terbit atau tempat tampak, maksudnya adalah tempat terbitnya hilal di arah Barat[2].
Diantara yang berpendapat demikian adalah:
·     Syāfiiyyah[3]: Mereka menyatakan bahwa untuk tiap negara adalah rukyat masing-masing negara tersebut. Tidak berlaku bagi negara-negara yang jauh darinya (tidak se-Mathla). Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawī. Mereka berdalil dengan hadis Kuraib.
Namun, ada beragam pendapat di dalam Madzhab Syāfi’ī tentang suatu daerah dikatakan satu Mathla. Dikatakan satu mathla bila berdekatan. Ukuran dekat nya beragam: pertama, bila masih dalam satu tempat terbit. Kedua, seukuran jarak dibolehkannya salat qasar.  Ketiga, beda iklim.
·     Imam Ibnu Taimiyyah[4]: Beliau berpendapat akan berlakunya perbedaan Mathla. Dengan alasan: Pertama, bahwa rukyat itu akan berbeda antara sebelah Timur dan Barat. Kedua, rukyat akan berbeda karena beda jarak dan iklim.   
·     Ibnu Majisūn[5]: Beliau mengatakan bahwa, rukyat di suatu Negara tidak berlaku untuk Negara lain kecuali ditetapka oleh Imam Aẓam. Sebab hakikatya baginya negara-negara itu dalam kesatuan hukum, maka keputusnnya berlaku untuk negara-negara tersebut.
Sekarang berkembang mathla wilayah hukmi, yakni sebuah tempat di anggap masih satu mathla, bila masih dalam wilayah hukum yang sama. Sepertinya pendapat ini mengadopsi pendapat Ibnu al-Majisūn. Dan menempatkan Pemerintah suatu Negara setara Imam Aẓam, hingga keputusannya berlaku untuk seluruh daerah-daerah Negara kekuasannya.
Pendapat kedua, penetapan awal bulan Hijriah berlaku secara global. Yakni bila sudah ditetapkan di satu negara, maka berlaku untuk Negara-negara lain diseluruh dunia.
Diantara yang berpendapat demikian adalah:
·     Mālikiyyah[6]: Mereka mewajibkan saum bagi seluruh negri kaum muslimin bila hilal telah dilihat pada satu negri. Namun sebagian dari Mālikiyyah membatasi bagi negri-negri yang letaknya berjauhan seperti antara Andalusia (spanyol) dan Khurasan
·     Hanabalah[7]: Mereka menetapkan bahwa bila satu negri melihat hilal, maka negri-negri lain (sedunia) wajib saum. Mereka berdalil dengan hadis “ṣūmū liruyatih…” hadis ini mewajibkan saum disebabkan rukyat secara mutlak tanpa dibatasi dari negri mana rukyat itu. Dan mereka berpendapat hadis Kuraib itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas saja bukan berasal dari Rasulullah Saw.
·     Hanafiyyah[8]: Merekapun menetapkan bila hilal Ramadan telah terlihat disuatu negeri maka wajib saum bagi seluruh muslim disetiap negeri. Mereka berdalil dengan hadis “ṣūmū liruyatih …” khiṭab-nya berlaku bagi setiap muslim secara umum.
Walaupun belum ada keputusan resmi jamiyyah, namun dalam kultur keilmuan fiqih di Persis setidaknya sejak zaman KH. A. Ghazali sampai sekarang, cenderung mengambil pendapat yang pertama. Yakni keberlakuan penetapan awal bulan Hijriah bersifat lokal. Hal ini berdasarkan hadis, yang terkenal dengan nama hadis Kuraib[9]:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ   r (رواه مسلم)
Artinya: Dari Kuraib, sesungguhnya Ummu Faḍl binti al-Hariṡ mengutusnya ke Muāwiyah di Syam, ia berkata: Aku telah datang ke Syam, lalu aku selesaikan keperluan Ummu Faḍl dan tampak kepadaku hilal Ramadan, sedangkan aku berada di Syam, aku melihat hilal pada malam Jum'at. Selanjutnya aku datang (pulang) ke Madinah pada akhir bulan (Ramadan), lalu Abdullāh bin Abbās bertanya kepadaku dari hal itu (hilal), kemudian ia membicarakan hilal seraya bertanya: kapan kamu melihat hilal? Aku jawab: kami melihatnya pada malam Jum'at. Lalu ia (Abdullāh bin Abbās) bertanya: Kamu sendiri melihatnya? Aku Jawab: Ya, dan orang-orang (lainnya) melihatnya, mereka berpuasa dan Mu'awiyah juga berpuasa. Lalu ia (Ibnu Abbās) berkata: tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, kita lalu berpuasa menyempurnakan (bilangan) 30 hari atau (sampai) melihatnya (hilal). Aku bertanya: apakah tidak cukup kamu mengikuti rukyatnya Muawiyah dan Saumnya. Ia jawab: Tidak demikianlah perintah Rasulullah Saw. kepada kita. (HR. Muslim)[10]
Mengomentari hadis ini KH. A. Ghazali berkata: “Selaku ulama sahabat dan orang yang pernah mendapat doa Rasulullah Saw. Ibnu Abbās sangat paham betul pada syari'at agama Islam. Oleh karena itu ucapan Kuraib "Awala taktafi birukyati Muawiyata wa Shiyamihi", dijawab dengan tegas "La hakadza amarana Rasulullah Saw.". Jadi kalau dihubungkan dengan hadis shumu lirukyatihi waafthiru lirukyatihi, jawaban Ibnu Abbas itu sangat tepat sekali, masing-masing daerah itu tergantung pada rukyatnya masing-masing”[11].


[1] Mausū‛ah  al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, op. cit., XXXVIII, hlm.110.
[2] Mausū‛ah  al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, loc. cit.
[3] Mausū‛ah  al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, op. cit., XXII, hal.36.
[4] ibid, XXXVIII, hal.110.
[5] asy-Syaukānī, Nailul Auṭār, (Mesir: Dār al-Hadis, 1413H/1993M), IV: hal.228
[6] Mausū‛ah  al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, op. cit., XXII, hal.36.
[7] Ibid, hal.37
[8] Ibid, hal.36
[9] Analisis Historis berupa biografi para tokoh yang di sebut dalam hadis di atas diketahui bertemunya Kuraib dengan Uṡmān bin Affān yang memangku Khalifah sejak tahun 23-35 H/644-656 H, serta wafatnya Ummu Faḍl (Ibu Ibnu Abbās) yang memerintahkan Kuraib maulanya Ibnu Abbās yakni sekitar tahun 31-35 H. Maka perkiraan rentang waktu terjadinya hadis Kuraib di atas adalah dari 23–35 H/644 - 656 M. Selanjutnya dilakukan analisis Astronomis pada rentang tahun tersebut untuk mengetahui tahun berapakah yang Ramadannya jatuh pada hari Jum’at untuk Damaskus dan Hari Sabtu untuk Madinah. Awal Ramadan jatuh pada hari Jum’at bisa diperkirakan bila Ijtimaknya terjadi pada hari Kamis atau hari Rabu namun ijtimak nya setelah gurub. Ditemukan  ijtimak awal Ramadan yang terjadi pada hari Kamis terjadi pada tahun 29 H. sementara ijtimak yang terjadi pada hari Rabu setelah Ghurūb tidak terdapat pada  rentang waktu tesebut. Awal Bulan Ramadan 29 H diperkirakan jatuh pada hari Jum’at bertepatan 7 Mei 650 M. Mengingat di Damaskus ijtimak geocentris terjadi Kamis, 6 Mei 650 M jam 11:53:40 LMT. Ketinggian hilal 3.2° (Upper Limb). Elongasi Topocentris 5°.  Sementara di Madinah, tinggi hilal 2.4° , Elongasi topocentris 5.1°, di kedua daerah tersebut hilal memungkinkan untuk bisa dilihat. Namun keterlihatan hilal di Daerah Damaskus lebih besar ketimbang di daerah Madinah. Jaman dulu kemungkinan keterlihatan hilal bisa saja lebih rendah dari sekarang, sebab polusi cahaya dan udara masih sangat-sangat rendah. Dengan demikian bisa jadi sebagaimana yang di informasikan dalam hadits, awal Ramadan 29 H di Damaskus bertepatan dengan hari Jum’at sedang di Madinah bertepatan dengan hari Sabtu. (Abu Sabda at. all, Melacak Tarikh Mutun Hadits Kuraib, 2015)
[10] Muslim, op. cit., II: 765 no. 28, bāb bayāni anna likulli baladin ru’yatuhum
[11] Majalah Risalah No.8 TH. XXXV Oktober 1997

No comments