Gerhana Matahari dan Kisah Kenabian: Yusya’ AS dan Rasulullah SAW
Gerhana
kerap membawa kisah menarik yang mengiringi kehadirannya. Baik pada peristiwa
Gerhana Matahari maupun Gerhana Bulan. Baik di masa kini, apalagi masa silam
kala kehadiran gerhana kerap dianggap sebagai pertanda dari langit. Termasuk
dalam peristiwa sejarah yang menentukan nasib sebuah negeri.
Di
masa Yunani Kuno, kota Syracuse dikepung rapat oleh pasukan Athena selama
Perang Peloponnesia. Mereka hampir kalah. Namun sebuah titik balik tak terduga
datang pada 28 Agustus 413 STU (Sebelum Tarikh Umum) saat Bulan purnama
mendadak meredup, ‘robek’ dan bahkan bersalin warna menjadi merah darah sangat
redup hanya dalam 2 jam setelah terbit. Pasukan Athena, yang dihinggapi
tahayul, menganggap gerhana itu pertanda buruk dan memutuskan menunda serangan
ke posisi-posisi pasukan Syracuse. Syracuse pun memanfaatkan kesempatan ini
dengan baik, sehingga gantian mereka yang melancarkan serangan dadakan ke
pasukan Athena. Athena pun hancur lebur.
Delapan
belas abad kemudian kisah yang mirip pun berulang. Selagi pasukan besar
Utsmaniy mengepung kota Konstantinopel, ibukota kekaisaran Romawi Timur
(Byzantium), pada 22 Mei 1453 TU Bulan terbit dalam kondisi setengah ‘robek’
sebagai Gerhana Bulan Sebagian di kaki langit timur kota. Saat itu Bulan
menampakkan wajahnya dengan sekitar 70 % cakram Bulan tertutupi oleh umbra
Bumi. Saat itu Konstantinopel sudah dikepung pasukan Utsmaniy sebulan lamanya.
Gerhana ini menerbitkan rasa takut dan merosotkan moral penduduk
Konstantinopel. Apalagi tersiar legenda bahwa kejatuhan kekaisaran mereka telah
lama diramalkan dan akan ditandai oleh gerhana. Benar, tujuh hari kemudian kota
itu takluk dan imperium Byzantium yang pernah perkasa itu pun tinggal sejarah.
Dalam
tulisan ini fenomena gerhana di masa silam dibatasi pada peristiwa Gerhana
Matahari di masa kenabian, yakni di era Nabi Yusya’ AS dan Rasulullah Muhammad
SAW.
Gerhana
dan Legenda Berhentinya Matahari
Pertempuran
menentukan itu nampaknya terjadi sekitar 32 abad silam. Ringkasnya: pasukan
Bani Israil yang sedang berjuang memasuki negeri Kanaan yang dijanjikan harus
berhadapan dengan pasukan suku Hivit (bagian dari sukubangsa Amorit) yang
berkekuatan besar pada suatu tempat di luar kota al-Jib (Gibeon). Suku Hivit
adalah orang-orang yang berbadan besar dan perkasa, yang mendiami dataran luas
di sisi barat Laut Mati hingga ke pesisir Laut Tengah. Tak tanggung-tanggung,
di hari itu orang-orang Hivit mengerahkan kekuatan dalam jumlah besar dari lima
negara kota sekaligus, kekuatan yang sanggup menggetarkan siapapun .
Pertempuran
al-Jib pun meletus hari itu hingga ke rembang petang. Dan tak ada yang mengira
kalau pasukan Bani Israil ternyata berhasil mengangkangi keperkasaan pasukan
Hivit yang semula dikenal tak terkalahkan. Di bawah pimpinan Yusya’, yang merupakan seorang nabi, pasukan Bani Israil
pun menghancurkan pasukan Hivit dalam pertempuran al-Jib. Jalan bagi Bani
Israil untuk menancapkan kakinya di negeri Kanaan yang dijanjikan pun kian
terbuka. Pertempuran ini juga mewariskan kisah legendaris, yang menuturkan
Yusya’ berseru kepada Matahari dan Bulan untuk berdiam di posisinya masing-masing
hingga pertempuran usai. Atau dalam kata-kata lain, inilah nabi yang menahan
gerak Matahari (dan juga Bulan).
Kini,
kapan Pertempuran al-Jib itu terjadi nampaknya sudah bisa ditetapkan
tanggalnya. Riset multidisiplin ilmu oleh tim cendekiawan Universitas Ben
Gurion (Israel) yang dipimpin Hezi Yitzhak menyimpulkan Pertempuran al-Jib itu
mungkin terjadi pada 30 Oktober 1207 STU (Sebelum Tarikh Umum), bertepatan
dengan peristiwa Gerhana Matahari Cincin. Dan lokasi dimana pertempuran
tersebut berlangsung merupakan bagian dari zona antumbra (zona yang mampu
melihat bentuk cincin/anularitas pada puncak gerhana) dalam wilayah Gerhana
Matahari Cincin 30 Oktober 1206 STU tersebut.
Kisah
kenabian Yusya’ atau Yosua (Joshua) lebih banyak tersurat dalam alkitab Ibrani
dan alkitab Kristiani Perjanjian Lama, bahkan beliau menjadi tokoh sentral
Kitab Yosua di kedua alkitab tersebut. Sebaliknya al-Qur’an tidak secara
eksplisit menyebut nama Nabi Yusya’ AS. Beliau hanya disebut sebagai murid Nabi
Musa AS khususnya yang menyertai Nabi Musa AS selama dalam perjalanan mencari
Nabi Khidir AS seperti ternyata dalam surat al-Kahfi ayat 60-62. Namun sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Ubay ibn Ka’ab RA memastikan bahwa murid
yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut memang sosok Nabi Yusya’ AS.
Yusya’
AS merupakan sosok kepercayaan Nabi Musa AS. Namanya mulai muncul selepas
eksodusnya Bani Israil dari negeri Mesir menuju negeri Kanaan, tanah yang
dijanjikan Allah SWT seperti yang diwahyukan-Nya kepada Musa AS. Begitu lolos
dari kejaran Firaun dan pasukannya lewat mukjizat terbelahnya Laut Merah, Bani
Israil segera beringsut melangkahkan kakinya menuju negeri Kanaan. Namun
lama-kelamaan terbit rasa gentar dalam kalbu mereka seiring tersiarnya kabar
bahwa negeri yang hendak mereka tuju dan taklukkan itu ternyata dihuni
sukubangsa Amorit, orang-orang yang terkenal bertubuh perkasa tanpa tanding
dalam setiap medan pertempuran. Rasa gentar itu kian meluap hingga akhirnya
mencapai puncaknya, menjangkiti hampir semua orang. Mereka pun memutuskan untuk
berhenti, enggan melanjutkan perjalanan ke negeri Kanaan meski telah dijanjikan
kemenangan. Upaya Yusya’ dan Qalib untuk menyemangati mereka tiada henti tidak
juga membuahkan hasil.
Akibatnya
Bani Israil pun mendapat murka Allah SWT dan dihukum untuk terjebak di gurun
pasir di antara negeri Mesir dan Kanaan hingga 40 tahun kemudian. Selama masa
hukuman ini Yusya’ menjadi pengawal Nabi Musa AS yang setia. Sehingga menjelang
wafatnya, Nabi Musa AS pun mewariskan kepemimpinan Bani Israil ke tangan
Yusya’. Segera setelah menerima tampuk kepemimpinan, Yusya’ pun menjadi nabi
setelah menerima wahyu Illahi yang memerintahkannya menyeberangi Sungai Yordan
untuk memulai penaklukan negeri Kanaan yang telah dijanjikan-Nya. Dari kamp
pasukannya di Gilgal, secara berturut-turut Yusya’ AS menggerakkan pasukannya
menaklukkan negeri Ariha (Jericho) dan Ai. Selepas itu, setelah menggerakkan
pasukannya diam-diam di tengah malam menempuh jarak 30 kilometer hingga tiba di
perkemahan pasukan Hivit di dekat kota Yerusalem, maka Pertempuran al-Jib pun
berkobar dahsyat mulai keesokan paginya.
Tim
cendekiawan Ben Gurion tersebut tiba pada kesimpulan mengenai tanggal
Pertempuran al-Jib setelah melalui pendekatan astronomi dan reinterpretasi teks
ayat Yoshua 10:12. Terjemah dalam Bahasa Indonesia dari ayat tersebut adalah
“…Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, Bulan, di atas lembah Ayalon
!” Namun tim cendekiawan Ben Gurion berpendapat bahwa kata Ibrani “dom (do.wm)”
(yang secara tradisional diterjemahkan sebagai “berhenti”) juga bisa
diterjemahkan sebagai “menjadi gelap.” Sehingga terjemahannya bisa menjadi
“…Matahari, menjadi gelap di atas Gibeon dan engkau, Bulan, di atas lembah
Ayalon !” Dari terjemah ini muncul kesan bahwa pada saat itu Matahari dan Bulan
hadir bersamaan di langit dengan Matahari menjadi gelap.
Dari
sisi astronomi ada satu peristiwa langit yang bersesuaian dengan deskripsi
tersebut, yakni Gerhana Matahari. Dengan kata lain, Pertempuran al-Jib yang
mengambil tempat di dekat kota Yerusalem itu nampaknya bertepatan dengan
peristiwa Gerhana Matahari dengan Yerusalem dan sekitarnya menjadi bagian dari
wilayah gerhana, khususnya zona umbra atau antumbra.
Tim
cendekiawan Ben Gurion lantas memutuskan menggali data Gerhana Matahari masa
silam, khususnya melalui basisdata badan antariksa Amerika Serikat (NASA) yang
legendaris di bawah tajuk Five Millenium (-1999 to +3000) Canon of Solar
Eclipse Database. Basisdata ini memuat segala peristiwa Gerhana Matahari dalam
kurun 5.000 tahun mulai dari tahun 2000 STU hingga tahun 3000 TU. Selama
rentang waktu tersebut Bumi kita akan mengalami 11.898 peristiwa Gerhana
Matahari, yang terdiri dari 4.200 Gerhana Matahari Sebagian, 3.956 Gerhana
Matahari Cincin, 3.173 Gerhana Matahari Total dan 569 Gerhana Matahari Hibrid.
Tim memutuskan untuk berkonsentrasi pada rentang waktu antara 1500 STU hingga
1000 STU. Mereka mendapati bahwa dalam rentang waktu tersebut, hanya ada tiga
peristiwa Gerhana Matahari yang menjadikan kota Yerusalem dan sekitarnya
dilintasi zona umbra atau antumbra. Yakni satu kejadian Gerhana Matahari Total
dan dua kejadian Gerhana Matahari Cincin.
Dalam
rentang waktu tersebut, peristiwa Gerhana Matahari yang paling menarik adalah
Gerhana Matahari Cincin 30 Oktober 1207 STU. Dari kota Yerusalem dan
sekitarnya, peristiwa langit ini terjadi pada sore hari dan dapat disaksikan
hampir pada seluruh tahapnya. Awal gerhana terjadi pada pukul 15:07 waktu
setempat saat Matahari berkedudukan 23,0º di atas horizon barat. Anularitas
gerhana, yakni periode ketampakan bentuk cincin, mulai terjadi pada pukul 16:26
waktu setempat dan berlangsung hingga 5 menit kemudian (lebih detilnya 5 menit
13 detik). Puncak gerhana terjadi pada pukul 16:28 waktu setempat dengan tinggi
Matahari 7,0º di atas horizon barat. Gerhana masih berlangsung kala Matahari
terbenam pada pukul 17:05 waktu setempat, karena akhir gerhana terjadi pada
pukul 17:39 waktu setempat. Durasi tampak dari Gerhana Matahari ini di kota
Yerusalem dan sekitarnya adalah 1 jam 58 menit.
Peristiwa
Gerhana Matahari Cincin ini membuat langit sore 30 Oktober 1207 STU di kota
Yerusalem dan sekitarnya meremang lebih awal dibanding hari-hari normal. Langit
setempat akan mulai terasa lebih gelap pada, katakanlah, pukul 16:30 waktu
setempat. Puncak gerhana ini memang tidak menjadikan kota Yerusalem dan
sekitarnya menjadi gelap gulita. Namun dengan intensitas sinar Matahari yang
tiba di paras Bumi setempat tinggal 5 % dari normal pada saat puncak gerhana,
jelas situasinya cukup remang-remang. Puncak gerhana juga akan menyajikan
panorama unik saat Matahari terlihat sebagai cincin bercahaya yang ganjil,
bukan sebagai lingkaran sangat terang yang menyilaukan mata. Jelas pemandangan
ganjil ini akan menarik perhatian, termasuk pada kedua belah pasukan yang
sedang bertempur di medan al-Jib.
Bagaimana
peristiwa Gerhana Matahari pada Pertempuran al-Jib lantas ditafsirkan sebagai
peristiwa ‘berhenti’-nya Matahari di jauh kemudian hari? David Dickinson,
jurnalis di Universe Today, menduga persoalannya ada pada paham geosentrisme
yang mendominasi dunia hingga abad ke-16 TU. Paham tersebut bertumpu pada Bumi
sebagai pusat semesta dan pusat pergerakan segala benda langit. Demikian
mendalamnya dominasi paham ini sehingga dua agama besar, yakni Kristen dan
Islam, pun mengadopsinya di masa itu. Gereja mengadopsi geosentrisme karena,
selain menyajikan tujuh buah langit yang ditempati setiap planet (termasuk
Matahari dan Bulan) dengan masing-masing langit berbentuk bola sempurna sebagai
refleksi kesempurnaan ilahiah, juga karena menyediakan ruang di luar bola
bintang-bintang tetap untuk lokasi surga dan neraka. Maka ‘berhenti’-nya
Matahari menjadi salah satu ‘bukti’ yang menyokong paham geosentrisme.
Gerhana
Pagi di Kotasuci Madinah
Peristiwa
gerhana dalam kisah kenabian juga terjadi pada era lebih kemudian, yakni pada
masa Rasulullah Muhammad SAW. Tepatnya hanya beberapa bulan sebelum beliau
wafat. Gerhana tersebut terjadi pada hari yang sama dengan wafatnya Ibrahim,
putra Rasulullah SAW yang masih bayi. Wafatnya Ibrahim yang bersamaan dengan
menggelapnya langit membuat sebagian penduduk kotasuci Madinah menduga-duga
bahwa kedua peristiwa itu berhubungan. Ada juga yang menduga bahwa alam raya
turut berduka. Mendengar hal itu, usai memakamkan putranya Rasulullah SAW pun
menjelaskan peristiwa gerhana tidaklah berhubungan dengan hidup matinya
seseorang. Karena Bulan dan Matahari adalah dua dari sekian banyak tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT. Dan Umat Islam agar segera berzikir dengan menunaikan
shalat gerhana tatkala menyaksikan peristiwa gerhana.
Gerhana
yang terjadi pada saat wafatnya Ibrahim adalah Gerhana Matahari. Analisis
astronomi, juga dengan menelaah Five Millenium (-1999 to +3000) Canon of Solar
Eclipse Database memperlihatkan satu-satunya peristiwa Gerhana Matahari yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW tinggal di Madinah hingga wafatnya adalah
Gerhana Matahari Cincin 27 Januari 632 TU. Kotasuci Madinah dan sekitarnya
menjadi bagian dari wilayah gerhana ini, tepatnya bagian dari zona penumbranya.
Sehingga yang terlihat hanyalah gerhana sebagian. Dari kotasuci Madinah dan
lingkungan sekitarnya, gerhana ini akan dapat dilihat hanya dalam beberapa saat
pasca terbitnya Matahari. Basisdata di atas memperlihatkan bahwa awal gerhana
di kotasuci Madinah dan sekitarnya terjadi pada pukul 07:16 waktu setempat,
saat Matahari hanyalah setinggi 0,9º dari horizon timur. Puncak gerhana terjadi
pada pukul 08:29 waktu setempat, saat Matahari sudah setinggi 16,0º dari
horizon timur.Dan gerhana berakhir pada pukul 09:54 waktu setempat kala
Matahari sudah berkedudukan cukup tinggi, yakni 31,8º dari horizon timur.
Persentase penutupan cakram Matahari di saat puncak gerhana mencapai 76,4 %.
Sehingga intensitas sinar Matahari yang tiba di kotasuci Madinah dan sekitarnya
tinggal 24 % saja dari normalnya pada saat puncak gerhana. Situasi ini jelas
membuat suasana menjadi remang-remang yang mudah diindra oleh orang-orang.
Konversi
kalender memperlihatkan tanggal 27 Januari 632 TU bertepatan dengan tahun 10 H,
yakni tahun terjadinya haji wada’ (haji perpisahan). Dalam haji wada’ itu
Rasulullah SAW menerima sejumlah wahyu, salah satunya adalah perintah untuk
menjadikan kalender Umat Islam (yang dikemudian hari dinamakan kalender
Hijriyyah) sebagai kalender lunar murni, kalender yang sepenuhnya berbasis pergerakan
Bulan. Sehingga setahun kalender Hijriyyah selalu terdiri dari 12 bulan tanpa
ada lagi interkalasi (bulan kabisat atau bulan sisipan) yang dipraktikkan
sebagai Naasi’ seperti sebelumnya.
Maka
dapat disimpulkan bahwa tahun 10 H terdiri dari 12 bulan saja seperti
tahun-tahun berikutnya sehingga 27 Januari 632 TU ekivalen dengan 29 Syawwal 10
H. Tarikh ath-Thabari menyebutkan Ibrahim lahir di sekitar bulan Zulhijjah 8 H,
demikian halnya menurut Ibn Katsir dengan mengutip Ibn Saad. Maka pada saat wafatnya,
Ibrahim berusia 21 bulan, angka yang sesuai dengan Tarikh ath-Thabari.
Sepanjang
masa kenabiannya, Rasulullah SAW bersua dengan sembilan peristiwa Gerhana
Matahari. Yakni empat Gerhana Matahari Total dan lima Gerhana Matahari Cincin.
Lima peristiwa Gerhana Matahari terjadi tatkala Rasulullah SAW masih tinggal di
kotasuci Makkah, sementara empat lainnya terjadi setelah berhijrah ke kotasuci
Madinah.
Dan
seluruh peristiwa gerhana tersebut menjadikan kotasuci Makkah dan Madinah hanya
sebagai bagian dari zona penumbra saja. Namun dari sembilan Gerhana Matahari
tersebut, kemungkinan besar hanya lima diantaranya yang benar-benar bisa
diindra oleh orang-orang pada saat itu. Karena hanya kelima Gerhana Matahari
inilah yang memiliki nilai persentase tutupan cakram Matahari yang cukup besar
pada saat puncak gerhana terjadi. Dari kelimanya hanya satu yang terjadi pada
saat Rasulullah SAW sudah tinggal di kotasuci Madinah, yakni Gerhana Matahari
Cincin 27 Januari 632 TU. Sementara empat lainnya, masing-masing Gerhana
Matahari Total 23 Juli 413 TU, Gerhana Matahari Cincin 21 Mei 616 TU, Gerhana
Matahari Cincin 4 November 617 TU dan Gerhana Matahari Total 2 September 620 TU
terjadi tatkala Rasulullah SAW masih tinggal di kotasuci Makkah.
Source: ekliptika.wordpress.com
No comments