LEBIH DEKAT DENGAN RUKYAT HILAL
Secara hafiah, rukyat berarti “melihat”. Arti yang paling umum adalah “melihat dengan mata kepala”. Hilal yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat sesaat sesudah matahari terbenam (Baca juga: Apakah Hilal Apakah Hilal Itu?). Jadi, secara umum, kata rukyat dapat dikatakan sebagai “pengamatan terhadap hilal”. Sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi SAW, rukyat dilakukan dengan mata telanjang. Pengalam rukyat seperti ini sangat individual dan subjektif.
Diantara faktor yang menyulitkan melakukan rukyat adalah jauhnya bulan dari permukaan bumi, yang jaraknya mencapai 400.000 km. Karena kondi ini, bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat, yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal itu hanya mengisi sekitar 1,25% dari pandangan. Oleh sebab itu, pengaruh benda sekitarnya, yang mengisi 98,75%, sangatlah besar. Benda-benda berupa awan dan kilatan cahaya, misalnya, bisa menipu mata manusia sehingga celah pada awan yang berbentuk tanduk tipis, bisa disangka hilal.
Selain itu, hilal hadir sebentar saja, sekitar 15 menit sampai 1 jam, padahal pandangan mata sering terhalang awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan, seperti Indonesia.
Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan rukyat adalah kondisi sore hari, terutama yang meyangkut pencahayaan. Karena kemunculan hilal sangat singkat, rukyat harus dilakukan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu, walaupun matahari sudah berada di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang. Muncullah cahaya kuning keemasan yang disebut cerlang petang (twilight). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris “menenggelamkan” cahaya hilal yang sangat redup. Kecerahan atau kuat cahaya hilal tidak sampai 1% dibandingkan cahaya bulan purnama. Kekuatan cahaya hilal ini lebih rendah daripada cahaya latar belakangnya.
Kesulitan lainnya, pada umumnya hilal terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau ke sebelah selatan tempat terbenamnya matahari. Inilah sebab utama semakin menganggunya cahaya matahari yang masih terang walaupun sudah terbenam (berwarna putih) dan cahaya cemerlang petang (berwarna kuning). Kedua cahaya latar ini paling kuat, dan karena itu semakin menganggu. Jarak busur pandangan antara ke bulan dan ke matahari ini dinyatakan dalam azimut dan ketinggian hilal. Petunjuk arah utara selatan ini dinamakan azimut, sedangkan ketinggian hilal di atas ufuk dinamakan altitude.
Jika kombinasi azimut-elevasi ini terlalu kecil, maka hilal praktis tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Jadi, ada batas-batas ketika hilal masih mungkin dilihat dan tidak mungkin dilihat dengan mata telanjang (rukyat bil fi’li). Dengan demikian, rukyat bil fi’li sangat rawan terhadap kesalahan manusiawi. Kekeliruan yang tidak disengaja ini sebenarnya wajar mengingat keterbatasan kemampuan mata manusia. Apalangi mengingat kecilnya objek yang dilihat dalam suasana yang begitu sulit dan sering kali menjebak. Mungkin ada baiknya diselenggarakan latihan melihat hilal agar celah awan atau kilatan lampu benda bercahaya tidak disangka hilal.
Dibandingkan dengan hisab, potensi terjadinya kekeliruan subjektif sebenarnya lebih besar pada rukyat. Sebabnya, “melihat” adalah gabungan proses fisis (optis) dan kejiwaan (psikis). Secara keseluruhan, proses “melihat” adalah sebagai berikut:
Mata yang akan melihat suatu benda, dihadapkan kepada benda tersebut. Cahaya yang datang dari benda mula-mula memasuki lensa mata. Oleh lensa mata –ditambah dengan kaca mata bila diperlukan– cahaya benda tersebut diarahkan sehingga mengumpul membentuk gambaran (citra) benda tadi. Citra benda bentuknya persis dengan bendanya, hanya terbalik dan lebih kecil. Citra benda tersebut diimpitkan oleh lensa mata pada selaput jala (retina). Cahaya yang mengumpul pada citra benda kemudian diubah menjadi isyarat listrik pada simpul syaraf dan dialirkan ke otak melalui urat syaraf. Ini adalah proses jasmaniah (fisik).
Berdasarkan pengetahuan atau pengenalan sebelumnya tentang bentuk, warna benda, dan lain-lain, maka otak manusia melakukan proses pencerapan (persepsi, perception) sehingga menyimpulkan: pertama, bahwa ia telah melihat “sesuatu”, dan kedua, bahwa sesuatu itu adalah benda tertentu yang sudah atau belum dikenalinya. Proses kedua ini termasuk proses psikis, tepatnya proses mental.
Di dalam aktivitas melihat terdapat dua tahap, yaitu proses jasmani dan proses psikis. Yang dominan adalah proses psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala, dan isyarat listrik yang menyusuri urat syaraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apa pun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun. Jadi, dalam hal ini, proses psikis tidak terjadi sehingga proses melihat tidak terjadi pula.
Sebaliknya, walaupun proses fisis tidak ada –misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik maupun listrik– namun jika proses metalnya hadir, maka ia “merasa” dan kemudia “mengaku” melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi. Halusinasi bisa disebabkan oleh faktor fisis, misalnya karena pengaruh obat tidur, obat bius, dan obat perangsang. Dapat juga oleh sebab kejiwaan, misalnya karena ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan “dilihat” atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada.
Misalnya, seorang ibu yang sudah bertahun-tahun berpisah dengan anaknya dan sangat merindukannya, merasa melihat anaknya lewat sekelebat dengan mobil. Si ibu sangat yakin bahwa ia melihat anaknya, padahal yang dilihatnya adalah seorang pemuda yang mirip anaknya. Jadi, dalam proses melihat, yang paling dominan adalah proses kejiwaan, sedangkan ada atau tidaknya benda yang dilihat tidak penting. Yang penting adalah kesiapan maupun “perasaan siap” untuk melihat.
Jika terhadap benda yang “besar” seperti manusia, gunung, atau gedung manusia bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang seratus kali lebih kecil, lagi pula redup. Apalagi kondisi ketika melakukan rukyat itu sangat menyulitkan.
No comments