Breaking News

Mi’raj, Multijagat dan Semesta (Sebesar) Ketupat

Rajab sekitar 1440 tahun silam, setahun sebelum peristiwa Hijrah. Di tengah rasa duka yang meraja setelah istri tercinta dan sang pamanda dipanggil ke hadirat-Nya, Muhammad SAW mengalami perjalanan suci tiada tara dalam mengarungi semesta yang tak seorang pun pernah mengulanginya, baik di masa kini apalagi di masa silam. Usai menunaikan shalat isya’ di kediaman Ummi Hani binti Abi Thalib RA, keponakannya, Allah SWT memperkenankan seorang Muhammad SAW menjalani perjalanan suci. Di malam itulah beliau ber-isra dari kota suci Makkah menuju Masjid al-Aqsha yang menjadi episentrum kawasan al-Haram asy-Syarif di Yerusalem. Isra tersebut menempuh ribuan kilometer, namun direngkuh dalam waktu singkat. Dan dari al-Aqsha, beliau bermi’raj ke kawasan antah berantah di tengah-tengah keluasan langit yang disebut Sidratul Muntaha.
Gambar 1. Tapak kediaman Ummi Hani binti Abi Thalib RA, kini berada di sisi pintu (Bab) Abdul Aziz di kompleks Masjidil Haram, kotasuci Makkah al-Mukarramah. Dari sinilah perjalanan suci dalam peristiwa isra dan mi’raj bermula. Sumber: R. Chohan, dalam IslamicLandmarks, 2014.
Selain bersua dengan Allah SWT dan menerima perintah ibadah shalat wajib lima waktu, Muhammad SAW juga berkesempatan menjelajahi keluasan langit, menyaksikan panorama menakjubkan di surga dan sebaliknya juga berkesempatan melongok pemandangan mengerikan dalam neraka. Dalam kata-kata seorang Allama Muhammad Iqbal, cendekia Muslim legendaris di awal abad ke-20 sekaligus salah satu bapak bangsa Pakistan,”seandainya aku yang mengalami perjalanan suci semacam ini, niscaya aku takkan kembali ke Bumi.”
Namun Muhammad SAW kembali ke Bumi. Di pundaknyalah tugas kenabian dan kerasulan terakhir ditunaikan hingga usai. Di pundaknya pulalah sebuah peradaban yang berbeda siap dibentuk, yakni peradaban yang berharkat, bermartabat, bermoral dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Beliau kembali lagi ke kotasuci Makkah, ke kediaman Ummi Hani’, tepat sebelum fajar menyingsing. Keesokan paginya kotasuci Makkah dibikin gempar oleh beredarnya kisah menakjubkan tersebut. Ceritera yang tak masuk akal bagi ukuran ruang dan waktu peradaban mereka. Dalam kegemparan inilah sosok sahabat yang lahir dan besar di sudut kotasuci Makkah yang berbeda tampil membela dan memberikan jaminan atas kebenaran perjalanan suci Muhammad SAW. Mulai saat itulah sang sahabat dikenal dengan nama barunya, yakni Abu Bakar Ashshiddiq RA.
Gambar 2. Masjid Kubah Batu (Sakhrah), yang menaungi tempat tersuci di kompleks Masjid al-Aqsha dalam kawasan al-Haram asy-Syarief, Yerusalem. Di sinilah mi’raj bermula. Sumber: R. Chohan, dalam IslamicLandmarks, 2014.
Perjalanan suci Muhammad SAW berpuncak di Sidratul Muntaha, sebuah kawasan yang dalam pengetahuan populer berada di ‘langit ketujuh.’ Di manakah itu? Seperempat abad silam, kala penulis masih menempub bangku sekolah dasar dan kebetulan berkesempatan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat Agama Islam se-kecamatan, buku pendidikan Agama Islam saat itu menekankan Sidratul Muntaha berada di (orbit) planet Pluto. Argumennya sederhana, ‘langit ketujuh’ ditafsirkan secara harfiah sebagai ‘langit tingkat/lapis ketujuh dari Bumi.’ Selanjutnya angkasa yang merentang di antara orbit Bumi dan Mars dianggap sebagai langit (tingkat) pertama, sementara antariksa di antara orbit Mars dan Jupiter diasumsikan sebagai langit (tingkat) kedua dan demikian seterusnya. Sehingga dengan argumen tersebut, langit (tingkat) ketujuh dimulai dari orbit Pluto.
Di masa kini, kita mungkin akan tersenyum simpul kala membaca pendapat tersebut. Sebuah pendapat yang mewakili era di mana (sebagian besar) kita memahami tata surya sebagai bagian besar dari jagat raya yang kecil. Perkembangan ilmu pengetahuan terkini telah menggeser pandangan demikian secara dramatis. Kini tata surya kita dipahami hanyalah bagian kecil (bahkan sangat kecil) di tengah-tengah jagat raya yang besar. Untuk ukuran pengetahuan terkini, jarak Bumi-Pluto itu terlalu dekat bila dibandingkan terhadap jarak ke bintang-gemintang di galaksi lain. Apalagi dibandingkan dengan galaksi tertua yang usianya 13,3 milyar tahun.
Sumur Tanpa Dasar
Hingga abad ke-20 pun umat manusia masih berkutat dengan pertanyaan mengenai asal-usul jagat raya. Pertanyaan yang sama sejatinya telah bergaung sejak beratus-ratus tahun silam. Namun kini pertanyaan tersebut memasuki babak yang sama sekali baru, yang menegaskan bagaimana jagat raya bermula sekaligus beberapa fenomena unik didalamnya yang sekilas tak masuk akal.
Sampai perempat pertama abad ke-20, jagat raya masih dipandang sebagai semesta yang stabil dan statis (tidak bergerak), yang tak pernah dilahirkan dan juga takkan mati di kelak kemudian hari. Pandangan tersebut tetap dominan meski pada 1915 seorang Albert Einstein menelurkan gagasan revolusionernya yang kini menjadi salah satu batubata dasar ilmu pengetahuan modern, yakni relativitas umum. Relativitas umum memberikan pengertian baru tentang ruang, waktu, massa, energi dan (gaya) gravitasi. Relativitas umum menyodorkan hal-hal yang aneh dan terasa tak masuk akal tentang semesta kita. Misalnya, tentang seberkas cahaya yang akan sedikit berbelok kala melintas di dekat Matahari kita. Atau tentang gerak aneh yang diderita Merkurius, planet terdekat ke Matahari dalam tata surya kita.
Gambar 3. Poster yang dibuat astronom Eddington dan rekan-rekannya (Inggris) menjelang Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919. Terlihat berkas cahaya bintang menempuh lintasan yang melengkung kala lewat di dekat Matahari. Sehingga posisi bintang-bintang jauh tersebut seakan-akan bergeser dibanding posisi sesungguhnya. Eddington menjadi bagian dari tim astronom yang membuktikan bahwa melengkungnya lintasan cahaya tersebut memang benar-benar terjadi. Sumber: Morison, 2008.
Namun observasi astronomi berketelitian tinggi memastikan Einstein memang benar. Kampanya observasi Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919 membuktikan lintasan cahaya memang sedikit melengkung kala lewat di dekat Matahari. Massa Matahari yang demikian besar menghasilkan gravitasi yang tak kalah besarnya hingga membengkokkan ruang-waktu disekitarnya sedemikian rupa. Obyek apapun, bahkan seberkas cahaya sekalipun (yang adalah obyek dengan kecepatan tertinggi di jagat raya) tak punya pilihan lain kecuali menyusuri lengkungan tersebut kala melintas dekat Matahari. Inilah konsep revolusioner tentang gravitasi. Jika di masa sebelumnya kita memahami Bumi beredar mengelilingi Matahari akibat terjadinya kesetimbangan antara gaya gravitasi (yang menarik Bumi ke arah Matahari) dengan gaya sentrifugal (yang melontarkan Bumi menjauhi Matahari), maka menurut relativitas umum Bumi mengelilingi Matahari karena Matahari melengkungkan ruang-waktu disekelilingnya demikian rupa sehingga Bumi tak punya pilihan lain selain menyusuri lengkungan tersebut.
Ada dua implikasi serius relativitas umum yang semula diabaikan bahkan oleh seorang Einstein. Yang pertama, saat persamaan-persamaan relativitas umum yang memusingkan itu diterapkan dalam ranah kosmologi, terlihat jagat raya tidaklah statis namun sedang mengembang (meluas). Namun Einstein yang sejatinya terkenal intuitif dan visioner itu rupanya meyakini benar sifat jagat raya yang statis. Sehingga ia menganggap (dan menambahkan) adanya tetapan kosmologis (tetapan lambda) sebagai suatu sifat yang terjalin dalam ruang-waktu guna mengerem pengembangan tersebut, sehingga resultannya akan menghasilkan jagat raya statis seperti yang diyakininya. Sejarah akhirnya membuktikan bahwa hanya dalam beberapa tahun kemudian anggapan ini berantakan setelah Edwin Hubble, petinju yang lantas menjadi astrofisikawan, menyampaikan hasil kerja-kerasnya dalam mendaftar posisi dan jarak galaksi-galaksi selain Bima Sakti. Ternyata galaksi-galaksi tersebut sedang bergerak menjauh dan terus menjauh, tepat sesuai ramalan relativitas umum sebelum ide tetapan kosmologis muncul. Kelak saat mengunjungi Hubble di Observatorium Gunung Wilson, California (AS), Einstein mengakui bahwa tetapan kosmologis adalah “kesalahan terbesar yang pernah saya buat.”
Gambar 4. Atas: ilustrasi bagaimana massa bintang yang cukup membesar membuat ruang-waktu disekelilingnya (digambarkan sebagai jalinan garis-garis mirip jaring-jaring) melengkung. Pada Matahari, derajat pelengkungannya tergolong kecil. Sebaliknya pada bintang neutron, yakni bintang eksotik dengan massa minimal 1,4 Matahari namun jari-jarinya hanya 10 km, derajat pelengkungan ruang waktunya sangat besar. Dan pada lubang hitam, derajat penegkungannya demikian besar sehingga membentuk asimtot ruang-waktu, atau sumur tanpa dasar. Bawah: Galaksi Centaurus A (12 juta tahun cahaya dari Bumi), diabadikan dalam spektrum sinar-X dan gelombang mikro. Galaksi berbentuk cakram ini terlihat menghasilkan semburan dari pusatnya, yang menyembur ke dua arah berbeda masing-masing kiri atas dan kanan bawah citra. Semburan dahsyat ini merupakan aksi lubang hitam raksasa yang ada di pusat galaksi. Sumber: NASA, 2014; ESA, 2014.
Jika saat ini jagat raya sedang mengembang, maka jelas di masa silam seluruh isi jagat raya pernah berkumpul di satu titik yang sama. Inilah saat kelahiran jagat raya, yang di kemudian hari ngetop dengan nama peristiwa dentuman besar alias Big Bang. Dentuman besar mendapatkan namanya karena pada saat itulah seluruh materi jagat raya, yang termampatkan sangat padat dalam satu titik, mendadak mengembang sangat cepat sekaligus mulai membentuk partikel-partikel elementer yang kemudian bergabung lagi antar sesamanya hingga membentuk proton, neutron dan elektron yang menjadi batubata dasar seluruh materi. Jejak dentuman besar terekam pertama kali pada 1963 sebagai guyuran gelombang radio pengganggu (noise) dalam spektrum gelombang mikro yang muncul terus-menerus dalam teleskop radio yang dioperasikan astronom Penzias dan Wilson, tak peduli kemanapun teleskop tersebut diarahkan. Inilah radiasi latar belakang kosmik (cosmic microwave background/CMB) yang juga adalah jejak cahaya tertua dalam jagat raya, karena terbentuk hanya dalam waktu sekitar 380.000 tahun pasca dentuman besar. Kini kita mengetahui, lewat eksplorasi lebih lanjut radiasi latar belakang kosmik, bahwa jagat raya kita ini terbentuk pada 13,8 milyar tahun silam dan kini telah mengembang demikian luas sehingga diameternya sebesar 94 milyar tahun cahaya (1 tahun cahaya = 63.240 satuan astronomi = 9,46 trilyun kilometer).
Implikasi serius kedua dari relativitas umum adalah pada munculnya benda langit eksotik. Berkas cahaya sedikit melengkung kala melintas di dekat Matahari, dengan magnitud lengkungan bergantung pada besarnya massa Matahari dan jarak perlintasannya terhadap pusat massa Matahari. Jika Matahari kita gantikan dengan bintang lain, maka dengan mudah akan terlihat bahwa semakin besar massanya maka semakin besar pula derajat pelengkungan lintasan cahayanya. Fenomena serupa juga akan dijumpai jika jarak perlintasannya semakin dekat. Kombinasi kedua hal tersebut menghasilkan situasi ekstrim, dimana saat bintang memiliki massa sangat besar dan sebaliknya berdimensi (diameter) jauh lebih kecil dibanding Matahari. Bintang semacam itu dimungkinkan terbentuk sebagai produk akhir evolusi kehidupan bintang massif seperti diperlihatkan oleh mekanika kuantum, batubata dasar yang lain dalam ilmu pengetahuan modern. Bintang eksotik semacam ini memiliki kerapatan (massa jenis) amat sangat besar sehingga gravitasinya tak hanya membengkokkan ruang-waktu disekitarnya secara dramatis, namun bahkan menjulurkannya demikian rupa menjadi ‘sumur tanpa dasar’ sebagai asimtot ruang-waktu. Cahaya bintang eksotik ini bakal memasuki sumur tanpa dasar tersebut dan takkan pernah keluar darinya, demikian pula berkas cahaya yang berasal dari luar dan kebetulan melintas didekatnya hingga ke jarak perlintasan tertentu yang disebut ufuk peristiwa (event horizon).
Kini kita mengenal bintang eksotik seperti itu sebagai lubang hitam (black hole). Dan keberadaannya melimpah dalam jagat raya kita, baik sebagai bagian dari bintang kembar ataupun sebagai penghuni inti galaksi. Secara teoritis setiap bintang dengan massa 3 kali lipat massa Matahari kita bakal menjadi lubang hitam di ujung kehidupannya. Seperti namanya, tak ada seberkas cahaya pun yang terpancar dari lubang hitam sehingga tak seorang pun yang bisa melihatnya. Lubang hitam dideteksi berdasarkan interaksi gravitasinya terhadap lingkungannya. Juga bagaimana ia menghisap materi disekelilingnya, untuk kemudian mencabik-cabiknya, melumatnya dan memencarkannya ke arah-arah tertentu dengan pola khas yang hanya dapat dilihat dalam spektrum sinar ultraungu maupun sinar-X. Teleskop VLT di Observatorium Paranal (Chile) memperlihatkan bagaimana sebuah bintang yang melintas hanya dalam jarak 122 satuan astronomi (3 kali lipat jarak Matahari ke Pluto) dari pusat galaksi Bima Sakti mengalami gangguan berat oleh gravitasi dahsyat. Dari gangguan tersebut diketahui bahwa di pusat Bima Sakti kita tersembunyi sebuah lubang hitam raksasa dengan massa antara 3,2 hingga 4 juta kali lipat Matahari kita. Massa sebesar itu termampatkan dalam ruang seukuran 1.500 hingga 1.880 kali lipat ukuran Bumi kita. Tak heran jika gravitasinya demikian besar sehingga keseluruhan penjuru Bima Sakti, termasuk tata surya kita, merasakannya dan dipaksa tunduk di bawah pengaruhnya.
Sebesar Ketupat
Lantas kemana sumur tanpa dasar di lubang hitam itu berujung?
Gambar 5. Ilustrasi bagaimana jagat raya kita berkembang dari dentuman besar hingga ke usia mudanya (4 milyar tahun pasca dentuman besar) lengkap dengan skala waktunya. Nampak bagaimana tahap inflasioner membuat dimensi jagat raya membengkak hebat dibanding semula. Pasca inflasioner, barulah proton terbentuk diikuti terbentuknya inti-inti atom deuterium, helium dan litium. Materi inilah yang kemudian menghasilkan bintang pertama dan lantas berlanjut pada terbentuknya galaksi pertama. Sumber: NASA, 2014; National Geographic, 2014.
Sebuah sejarah baru tercipta pada 17 Maret 2014 lalu, tatkala tim BICEP2 (Background Imaging of Cosmic Extragalactic Polarization 2) mengumumkan hasil risetnya yang telah berjalan 9 tahun. Pengumuman ini menguak salah satu penemuan terpenting bagi dunia ilmu pengetahuan abad ke-21, yang bisa disejajarkan bersama pentingnya penemuan boson Higgs. Saat itu tim BICEP2 di bawah pimpinan John Kovac, astrofisikawan dari Harvard-Smithsonian Centre for Astrophysics (AS), mengumumkan ditemukannya bukti langsung tak terbantahkan tentang gagasan inflasioner (penggelembungan sangat cepat) dalam dentuman besar.
Gagasan inflasioner muncul lebih dari 3 dasawarsa silam guna menjawab beberapa masalah yang menggayuti teori dentuman besar. Gagasan ini membuat kita lebih memahami mengapa jagat raya kita cenderung datar dan homogen (sama rata) dalam skala makroskopik. Dalam gagasan ini, saat bayi jagat raya masih berusia amat sangat muda, yakni hanya 0,000000000000000000000000000000000001 detik (atau 10 pangkat minus 36 detik) pasca dentuman besar, terjadi pengembangan/penggelembungan sangat cepat sehingga dimensi (diameter) bayi jagat raya melonjak dramatis berkali-kali lipat. Inflasioner berlangsung sangat singkat dan terhenti pada saat 0,00000000000000000000000000000001 detik (10 pangkat minus 32 detik) pasca dentuman besar. Namun dalam tempo yang amat sangat singkat itu dimensi jagat raya membengkak hebat hingga 1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000 kali lipat (10 pangkat 60 kali lipat) dari semula. Sehingga bila awalnya bayi jagat raya hanyalah sebuah titik yang jauh lebih kecil ketimbang proton, maka pasca inflasioner usai ukurannya telah menjadi sebesar ketupat.
Setelah inflasioner usai, sebagai reaksinya terlepaslah gelombang gravitasi yang kemudian mengisi bayi jagat raya (yang kini telah sebesar ketupat). Dan 380.000 tahun kemudian, tatkala atom-atom Hidrogen netral mulai sepenuhnya terbentuk tanpa terionisasi kembali, terbentuklah cahaya tertua yang lantas berinteraksi dengan gelombang gravitasi pasca inflasioner hingga terbentuk pola-pola tertentu didalamnya. Pola-pola itu tetap terbawa dalam cahaya tersebut meski jagat raya kemudian makin dewasa dan menua dengan mengembang kian luas sehingga panjang gelombang cahaya tertua tersebut terus membesar sampai akhirnya keluar dari spektrum cahaya tampak maupun inframerah dan kini berada di dalam spektrum gelombang mikro. Inilah radiasi latar belakang kosmik.
Seperti halnya gelombang elektromagnetik pada umumnya, radiasi latar belakang kosmik pun dapat terkutubkan (terpolarisasi). Fakta ini dijumpai semenjak 2002. Berbekal penemuan ini maka tim BICEP2 mulai mencoba menelaah sifat polarisasi radiasi latar belakang kosmik lebih lanjut dengan membangun fasilitas teleskop Antartika atau SPT (South Pole Telescope) yang bekerja pada panjang gelombang dalam orde milimeter/submilimeter. Penelitian ini sangat sulit. Sebab untuk mendeteksi polarisasi pada radiasi latar belakang kosmik, tim BICEP harus membangun instrumen dengan sensitivitas sangat tinggi sehingga fluktuasi kecil dalam radiasi latar belakang kosmik, yang berkorespondensi pada fluktuasi suhu hanya 0,1 mikroKelvin (0,1 mikroCelcius). Namun kerja keras semenjak 2005 akhirnya terbayar juga kala tim BICEP2 memastikan adanya polarisasi moda-B dalam radiasi latar belakang kosmik, jejak yang hanya bisa dihasilkan dari tahap inflasioner dalam dentuman besar.
Multijagat
Gambar 6. Ilustrasi beberapa jagat raya (masing-masing digambarkan sebagai gelembung) dalam konstelasi multijagat. Nampak jagat raya kita yang masih terus mengembang, sementara jagat raya lain ada yang juga terus mengembang, namun ada juga yang sedang mulai menyusut/mengecil kembali. Seluruh jagat raya ini lahir dari fluktuasi kuantum. Sumber: National Geographic, 2014.
Ditemukannya bukti langsung tahap inflasioner membawa kita pada implikasi lain yang lebih serius. Menurut mekanika kuantum, inflasioner merupakan imbas dari fluktuasi kuantum. Fluktuasi yang sama juga akan menghasilkan dentuman-dentuman besar yang lain hingga memunculkan ruang-ruang waktu yang lain pula. Dengan kata lain, proses yang membentuk jagat raya kita lewat dentuman besar dengan tahap inflasioner didalamnya pun dapat pula membentuk jagat-jagat raya yang lain. Dengan kata lain, jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya yang ada, namun tumbuh dan berkembang bersama dengan jagat-jagat raya yang lain dalam konstelasi multijagat! Tentu, ini masih sebatas anggapan.
Seberapa banyak jagat-jagat raya lainnya yang ada di luar jagat raya kita? Di atas kertas cukup banyak, meski mustahil untuk bisa membuktikan keberadaannya (pada saat ini). Sebab eksistensi multijagat itu hanya mengemuka dalam imajinasi kita. Namun jika jagat-jagat raya lain itu benar-benar ada, maka eksistensinya mungkin menjadi salah satu faktor krusial yang menopang jagat raya kita, khususnya bagaimana jagat raya kita seisinya memiliki parameter-parameter yang pas (fine-tuned) baik dalam skala makro maupun mikro sehingga dapat kita amati. Dengan kata lain, keberadaan multijagat mungkin menjadi jawaban bagaimana jagat raya kita ini demikian pas sehingga memungkinkan kita umat manusia untuk hidup didalamnya, meski hanya sebatas di pojokan kecil yang bernama planet Bumi. Salah satu perhitungan memperlihatkan bahwa agar jagat raya kita ini ada dan mampu menopang kehidupan umat manusia, dibutuhkan setidaknya 10 pangkat 400 jagat-jagat raya yang lain!
Jagat-jagat raya lain, jika ada, mungkin juga akan memberikan jawaban dimana sumur tanpa dasar lubang hitam bermuara. Di atas kertas, sumur tanpa dasar itu sejatinya terowongan tak kasat mata, yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya dalam jagat raya kita. Dapat pula sumur tanpa dasar itu merupakan terowongan yang menghubungkan satu titik dalam jagat raya kita dengan titik lain di jagat raya lain. Inilah konsep lubang cacing (wormhole). Meski sangat sulit dibuktikan secara ilmiah, konsep lubang cacing amat populer dalam kisah-kisah fiksi sebagai jalan pintas untuk sampai ke lokasi yang sejatinya sangat jauh dalam tempo sangat singkat. Normalnya perjalanan Jakarta-Surabaya harus ditempuh dalam waktu minimal sejam dengan menggunakan pesawat terbang. Namun bila perjalanan berlangsung dengan terowongan ruang-waktu dalam konsep lubang cacing, maka Jakarta-Surabaya dapat ditempuh hanya dalam beberapa menit (bahkan dalam beberapa detik saja !) dengan berjalan kaki, asal tahu caranya. Sebab ilmu pengetahuan telah memperingatkan bahwa lubang cacing ini, jika benar-benar ada, adalah sangat takstabil sehingga keburu lenyap dalam sekejap bahkan saat kita baru menjejakkan ujung jari kaki kita kedalamnya. Hanya jika kita mempunyai materi eksotik dengan massa negatif saja (sehingga memiliki energi negatif) maka lubang cacing dapat distabilkan dan dimungkinkan dilalui.
Gambar 7. Ilustrasi bagaimana melakukan perjalanan antar jagat raya dengan memanfaatkan terowongan ruang-waktu berupa lubang cacing yang telah terbuka dan stabil. Sumber: NASA, 2014.
Cukup menarik untuk mencermati bagaimana pengembangan jagat raya, lubang hitam, sumur tanpa dasar, inflasioner, multijagat hingga lubang cacing membawa implikasi baru dalam memahami dan menafsirkan peristiwa mi’raj Rasulullah Muhammad SAW yang menakjubkan. Kata “tujuh” dalam bahasa Arab dapat memiliki arti jamak (banyak), sehingga “langit ketujuh” bisa diterjemahkan menjadi “langit (yang) banyak.” Jika kata-kata “langit” dianggap sebagai “jagat raya”, maka “langit ketujuh” dapat dianggap setara dengan kata-kata “jagat raya (yang) banyak” atau “jagat-jagat raya”. Dengan demikian mi’raj menuju Sidratul Muntaha di langit ketujuh dapat dianggap bisa dibahasakan ulang menjadi perjalanan luar biasa menuju Sidratul Muntaha yang terletak di jagat-jagat raya lain. Jalan pintas untuk perjalanan menakjubkan menembus ruang-waktu semacam ini bisa dengan melalui lubang cacing, dengan mulut terowongan pada saat itu menjulur hingga pelataran Masjid al-Aqsha. Agar perjalanan bisa dilakukan, maka lubang cacing perlu distabilkan oleh materi eksotik bermassa negatif (sehingga berenergi negatif). Materi tersebut mungkin tak pernah ada dalam jagat raya kita masa kini, namun mungkin berlimpah di jagat-jagat raya yang lain. Sehingga perjalanan menuju ke jagat-jagat raya lain tersebut hanya bisa berlangsung tatkala penghuninya berkehendak untuk itu. Dan begitu mi’raj usai, maka materi eksotik tersebut pun ditarik kembali sehingga lubang cacing pun tertutup dan menghilang sepenuhnya dari pelataran Masjid al-Aqsha.
Benarkah demikian? Wallahua’lam. Bagaimana dengan surga dan neraka, apakah mereka juga berada dalam salah satu dari jagat-jagat raya lain tersebut? Wallahua’lam. Yang jelas ilmu pengetahuan masakini baru saja membuktikan bahwa inflasioner memang benar, memang pernah terjadi di awal jagat raya kita. Dan faktor yang memicu inflasioner dapat saja menghasilkan jagat-jagat raya yang lain. Jagat raya yang mungkin sama dengan jagat raya kita dan dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang sama pula. Namun dapat pula jagat raya yang berbeda dengan hukum-hukum alam yang sama sekali berbeda dengan jagat raya kita. Namun sekalipun berbeda, jagat-jagat raya lain tersebut tetap terhubung dengan jagat raya kita melalui terowongan ruang-waktu yang disebut lubang cacing. Barangkali hanya sosok agung yang dipilih sendiri oleh-Nya yang sanggup melintasi terowongan ini dan mengadakan perjalanan antar jagat raya kala hayat masih dikandung raga.

source: ekliptika

No comments