Mi’raj, Multijagat dan Semesta (Sebesar) Ketupat
Rajab
sekitar 1440 tahun silam, setahun sebelum peristiwa Hijrah. Di tengah rasa duka
yang meraja setelah istri tercinta dan sang pamanda dipanggil ke hadirat-Nya,
Muhammad SAW mengalami perjalanan suci tiada tara dalam mengarungi semesta yang
tak seorang pun pernah mengulanginya, baik di masa kini apalagi di masa silam.
Usai menunaikan shalat isya’ di kediaman Ummi Hani binti Abi Thalib RA,
keponakannya, Allah SWT memperkenankan seorang Muhammad SAW menjalani
perjalanan suci. Di malam itulah beliau ber-isra dari kota suci Makkah menuju
Masjid al-Aqsha yang menjadi episentrum kawasan al-Haram asy-Syarif di
Yerusalem. Isra tersebut menempuh ribuan kilometer, namun direngkuh dalam waktu
singkat. Dan dari al-Aqsha, beliau bermi’raj ke kawasan antah berantah di tengah-tengah
keluasan langit yang disebut Sidratul Muntaha.
Gambar
1. Tapak kediaman Ummi Hani binti Abi Thalib RA, kini berada di sisi pintu
(Bab) Abdul Aziz di kompleks Masjidil Haram, kotasuci Makkah al-Mukarramah.
Dari sinilah perjalanan suci dalam peristiwa isra dan mi’raj bermula. Sumber:
R. Chohan, dalam IslamicLandmarks, 2014.
|
Selain
bersua dengan Allah SWT dan menerima perintah ibadah shalat wajib lima waktu,
Muhammad SAW juga berkesempatan menjelajahi keluasan langit, menyaksikan
panorama menakjubkan di surga dan sebaliknya juga berkesempatan melongok
pemandangan mengerikan dalam neraka. Dalam kata-kata seorang Allama Muhammad
Iqbal, cendekia Muslim legendaris di awal abad ke-20 sekaligus salah satu bapak
bangsa Pakistan,”seandainya aku yang mengalami perjalanan suci semacam ini,
niscaya aku takkan kembali ke Bumi.”
Namun
Muhammad SAW kembali ke Bumi. Di pundaknyalah tugas kenabian dan kerasulan
terakhir ditunaikan hingga usai. Di pundaknya pulalah sebuah peradaban yang
berbeda siap dibentuk, yakni peradaban yang berharkat, bermartabat, bermoral
dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Beliau kembali lagi ke
kotasuci Makkah, ke kediaman Ummi Hani’, tepat sebelum fajar menyingsing.
Keesokan paginya kotasuci Makkah dibikin gempar oleh beredarnya kisah
menakjubkan tersebut. Ceritera yang tak masuk akal bagi ukuran ruang dan waktu
peradaban mereka. Dalam kegemparan inilah sosok sahabat yang lahir dan besar di
sudut kotasuci Makkah yang berbeda tampil membela dan memberikan jaminan atas
kebenaran perjalanan suci Muhammad SAW. Mulai saat itulah sang sahabat dikenal
dengan nama barunya, yakni Abu Bakar Ashshiddiq RA.
Gambar
2. Masjid Kubah Batu (Sakhrah), yang menaungi tempat tersuci di kompleks Masjid
al-Aqsha dalam kawasan al-Haram asy-Syarief, Yerusalem. Di sinilah mi’raj
bermula. Sumber: R. Chohan, dalam IslamicLandmarks, 2014.
|
Perjalanan
suci Muhammad SAW berpuncak di Sidratul Muntaha, sebuah kawasan yang dalam
pengetahuan populer berada di ‘langit ketujuh.’ Di manakah itu? Seperempat abad
silam, kala penulis masih menempub bangku sekolah dasar dan kebetulan
berkesempatan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba cerdas cermat Agama Islam
se-kecamatan, buku pendidikan Agama Islam saat itu menekankan Sidratul Muntaha
berada di (orbit) planet Pluto. Argumennya sederhana, ‘langit ketujuh’
ditafsirkan secara harfiah sebagai ‘langit tingkat/lapis ketujuh dari Bumi.’
Selanjutnya angkasa yang merentang di antara orbit Bumi dan Mars dianggap
sebagai langit (tingkat) pertama, sementara antariksa di antara orbit Mars dan
Jupiter diasumsikan sebagai langit (tingkat) kedua dan demikian seterusnya.
Sehingga dengan argumen tersebut, langit (tingkat) ketujuh dimulai dari orbit
Pluto.
Di
masa kini, kita mungkin akan tersenyum simpul kala membaca pendapat tersebut.
Sebuah pendapat yang mewakili era di mana (sebagian besar) kita memahami tata
surya sebagai bagian besar dari jagat raya yang kecil. Perkembangan ilmu
pengetahuan terkini telah menggeser pandangan demikian secara dramatis. Kini
tata surya kita dipahami hanyalah bagian kecil (bahkan sangat kecil) di
tengah-tengah jagat raya yang besar. Untuk ukuran pengetahuan terkini, jarak
Bumi-Pluto itu terlalu dekat bila dibandingkan terhadap jarak ke
bintang-gemintang di galaksi lain. Apalagi dibandingkan dengan galaksi tertua
yang usianya 13,3 milyar tahun.
Sumur
Tanpa Dasar
Hingga
abad ke-20 pun umat manusia masih berkutat dengan pertanyaan mengenai asal-usul
jagat raya. Pertanyaan yang sama sejatinya telah bergaung sejak beratus-ratus
tahun silam. Namun kini pertanyaan tersebut memasuki babak yang sama sekali
baru, yang menegaskan bagaimana jagat raya bermula sekaligus beberapa fenomena
unik didalamnya yang sekilas tak masuk akal.
Sampai
perempat pertama abad ke-20, jagat raya masih dipandang sebagai semesta yang
stabil dan statis (tidak bergerak), yang tak pernah dilahirkan dan juga takkan
mati di kelak kemudian hari. Pandangan tersebut tetap dominan meski pada 1915
seorang Albert Einstein menelurkan gagasan revolusionernya yang kini menjadi
salah satu batubata dasar ilmu pengetahuan modern, yakni relativitas umum.
Relativitas umum memberikan pengertian baru tentang ruang, waktu, massa, energi
dan (gaya) gravitasi. Relativitas umum menyodorkan hal-hal yang aneh dan terasa
tak masuk akal tentang semesta kita. Misalnya, tentang seberkas cahaya yang
akan sedikit berbelok kala melintas di dekat Matahari kita. Atau tentang gerak
aneh yang diderita Merkurius, planet terdekat ke Matahari dalam tata surya
kita.
Gambar
3. Poster yang dibuat astronom Eddington dan rekan-rekannya (Inggris) menjelang
Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919. Terlihat berkas cahaya bintang menempuh
lintasan yang melengkung kala lewat di dekat Matahari. Sehingga posisi
bintang-bintang jauh tersebut seakan-akan bergeser dibanding posisi
sesungguhnya. Eddington menjadi bagian dari tim astronom yang membuktikan bahwa
melengkungnya lintasan cahaya tersebut memang benar-benar terjadi. Sumber:
Morison, 2008.
|
Namun
observasi astronomi berketelitian tinggi memastikan Einstein memang benar.
Kampanya observasi Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919 membuktikan lintasan
cahaya memang sedikit melengkung kala lewat di dekat Matahari. Massa Matahari
yang demikian besar menghasilkan gravitasi yang tak kalah besarnya hingga
membengkokkan ruang-waktu disekitarnya sedemikian rupa. Obyek apapun, bahkan
seberkas cahaya sekalipun (yang adalah obyek dengan kecepatan tertinggi di
jagat raya) tak punya pilihan lain kecuali menyusuri lengkungan tersebut kala
melintas dekat Matahari. Inilah konsep revolusioner tentang gravitasi. Jika di
masa sebelumnya kita memahami Bumi beredar mengelilingi Matahari akibat
terjadinya kesetimbangan antara gaya gravitasi (yang menarik Bumi ke arah
Matahari) dengan gaya sentrifugal (yang melontarkan Bumi menjauhi Matahari),
maka menurut relativitas umum Bumi mengelilingi Matahari karena Matahari
melengkungkan ruang-waktu disekelilingnya demikian rupa sehingga Bumi tak punya
pilihan lain selain menyusuri lengkungan tersebut.
Ada
dua implikasi serius relativitas umum yang semula diabaikan bahkan oleh seorang
Einstein. Yang pertama, saat persamaan-persamaan relativitas umum yang
memusingkan itu diterapkan dalam ranah kosmologi, terlihat jagat raya tidaklah
statis namun sedang mengembang (meluas). Namun Einstein yang sejatinya terkenal
intuitif dan visioner itu rupanya meyakini benar sifat jagat raya yang statis.
Sehingga ia menganggap (dan menambahkan) adanya tetapan kosmologis (tetapan
lambda) sebagai suatu sifat yang terjalin dalam ruang-waktu guna mengerem
pengembangan tersebut, sehingga resultannya akan menghasilkan jagat raya statis
seperti yang diyakininya. Sejarah akhirnya membuktikan bahwa hanya dalam
beberapa tahun kemudian anggapan ini berantakan setelah Edwin Hubble, petinju
yang lantas menjadi astrofisikawan, menyampaikan hasil kerja-kerasnya dalam
mendaftar posisi dan jarak galaksi-galaksi selain Bima Sakti. Ternyata
galaksi-galaksi tersebut sedang bergerak menjauh dan terus menjauh, tepat
sesuai ramalan relativitas umum sebelum ide tetapan kosmologis muncul. Kelak
saat mengunjungi Hubble di Observatorium Gunung Wilson, California (AS),
Einstein mengakui bahwa tetapan kosmologis adalah “kesalahan terbesar yang
pernah saya buat.”
Gambar
4. Atas: ilustrasi bagaimana massa bintang yang cukup membesar membuat
ruang-waktu disekelilingnya (digambarkan sebagai jalinan garis-garis mirip
jaring-jaring) melengkung. Pada Matahari, derajat pelengkungannya tergolong
kecil. Sebaliknya pada bintang neutron, yakni bintang eksotik dengan massa
minimal 1,4 Matahari namun jari-jarinya hanya 10 km, derajat pelengkungan ruang
waktunya sangat besar. Dan pada lubang hitam, derajat penegkungannya demikian
besar sehingga membentuk asimtot ruang-waktu, atau sumur tanpa dasar. Bawah:
Galaksi Centaurus A (12 juta tahun cahaya dari Bumi), diabadikan dalam spektrum
sinar-X dan gelombang mikro. Galaksi berbentuk cakram ini terlihat menghasilkan
semburan dari pusatnya, yang menyembur ke dua arah berbeda masing-masing kiri
atas dan kanan bawah citra. Semburan dahsyat ini merupakan aksi lubang hitam
raksasa yang ada di pusat galaksi. Sumber: NASA, 2014; ESA, 2014.
|
Jika
saat ini jagat raya sedang mengembang, maka jelas di masa silam seluruh isi
jagat raya pernah berkumpul di satu titik yang sama. Inilah saat kelahiran
jagat raya, yang di kemudian hari ngetop dengan nama peristiwa dentuman besar
alias Big Bang. Dentuman besar mendapatkan namanya karena pada saat itulah
seluruh materi jagat raya, yang termampatkan sangat padat dalam satu titik,
mendadak mengembang sangat cepat sekaligus mulai membentuk partikel-partikel
elementer yang kemudian bergabung lagi antar sesamanya hingga membentuk proton,
neutron dan elektron yang menjadi batubata dasar seluruh materi. Jejak dentuman
besar terekam pertama kali pada 1963 sebagai guyuran gelombang radio pengganggu
(noise) dalam spektrum gelombang mikro yang muncul terus-menerus dalam teleskop
radio yang dioperasikan astronom Penzias dan Wilson, tak peduli kemanapun
teleskop tersebut diarahkan. Inilah radiasi latar belakang kosmik (cosmic
microwave background/CMB) yang juga adalah jejak cahaya tertua dalam jagat
raya, karena terbentuk hanya dalam waktu sekitar 380.000 tahun pasca dentuman
besar. Kini kita mengetahui, lewat eksplorasi lebih lanjut radiasi latar
belakang kosmik, bahwa jagat raya kita ini terbentuk pada 13,8 milyar tahun
silam dan kini telah mengembang demikian luas sehingga diameternya sebesar 94
milyar tahun cahaya (1 tahun cahaya = 63.240 satuan astronomi = 9,46 trilyun
kilometer).
Implikasi
serius kedua dari relativitas umum adalah pada munculnya benda langit eksotik.
Berkas cahaya sedikit melengkung kala melintas di dekat Matahari, dengan
magnitud lengkungan bergantung pada besarnya massa Matahari dan jarak
perlintasannya terhadap pusat massa Matahari. Jika Matahari kita gantikan
dengan bintang lain, maka dengan mudah akan terlihat bahwa semakin besar
massanya maka semakin besar pula derajat pelengkungan lintasan cahayanya.
Fenomena serupa juga akan dijumpai jika jarak perlintasannya semakin dekat.
Kombinasi kedua hal tersebut menghasilkan situasi ekstrim, dimana saat bintang
memiliki massa sangat besar dan sebaliknya berdimensi (diameter) jauh lebih
kecil dibanding Matahari. Bintang semacam itu dimungkinkan terbentuk sebagai
produk akhir evolusi kehidupan bintang massif seperti diperlihatkan oleh
mekanika kuantum, batubata dasar yang lain dalam ilmu pengetahuan modern.
Bintang eksotik semacam ini memiliki kerapatan (massa jenis) amat sangat besar
sehingga gravitasinya tak hanya membengkokkan ruang-waktu disekitarnya secara
dramatis, namun bahkan menjulurkannya demikian rupa menjadi ‘sumur tanpa dasar’
sebagai asimtot ruang-waktu. Cahaya bintang eksotik ini bakal memasuki sumur
tanpa dasar tersebut dan takkan pernah keluar darinya, demikian pula berkas
cahaya yang berasal dari luar dan kebetulan melintas didekatnya hingga ke jarak
perlintasan tertentu yang disebut ufuk peristiwa (event horizon).
Kini
kita mengenal bintang eksotik seperti itu sebagai lubang hitam (black hole).
Dan keberadaannya melimpah dalam jagat raya kita, baik sebagai bagian dari
bintang kembar ataupun sebagai penghuni inti galaksi. Secara teoritis setiap
bintang dengan massa 3 kali lipat massa Matahari kita bakal menjadi lubang
hitam di ujung kehidupannya. Seperti namanya, tak ada seberkas cahaya pun yang
terpancar dari lubang hitam sehingga tak seorang pun yang bisa melihatnya.
Lubang hitam dideteksi berdasarkan interaksi gravitasinya terhadap
lingkungannya. Juga bagaimana ia menghisap materi disekelilingnya, untuk
kemudian mencabik-cabiknya, melumatnya dan memencarkannya ke arah-arah tertentu
dengan pola khas yang hanya dapat dilihat dalam spektrum sinar ultraungu maupun
sinar-X. Teleskop VLT di Observatorium Paranal (Chile) memperlihatkan bagaimana
sebuah bintang yang melintas hanya dalam jarak 122 satuan astronomi (3 kali
lipat jarak Matahari ke Pluto) dari pusat galaksi Bima Sakti mengalami gangguan
berat oleh gravitasi dahsyat. Dari gangguan tersebut diketahui bahwa di pusat
Bima Sakti kita tersembunyi sebuah lubang hitam raksasa dengan massa antara 3,2
hingga 4 juta kali lipat Matahari kita. Massa sebesar itu termampatkan dalam
ruang seukuran 1.500 hingga 1.880 kali lipat ukuran Bumi kita. Tak heran jika
gravitasinya demikian besar sehingga keseluruhan penjuru Bima Sakti, termasuk
tata surya kita, merasakannya dan dipaksa tunduk di bawah pengaruhnya.
Sebesar
Ketupat
Lantas
kemana sumur tanpa dasar di lubang hitam itu berujung?
Gambar
5. Ilustrasi bagaimana jagat raya kita berkembang dari dentuman besar hingga ke
usia mudanya (4 milyar tahun pasca dentuman besar) lengkap dengan skala
waktunya. Nampak bagaimana tahap inflasioner membuat dimensi jagat raya
membengkak hebat dibanding semula. Pasca inflasioner, barulah proton terbentuk
diikuti terbentuknya inti-inti atom deuterium, helium dan litium. Materi inilah
yang kemudian menghasilkan bintang pertama dan lantas berlanjut pada
terbentuknya galaksi pertama. Sumber: NASA, 2014; National Geographic, 2014.
|
Sebuah
sejarah baru tercipta pada 17 Maret 2014 lalu, tatkala tim BICEP2 (Background
Imaging of Cosmic Extragalactic Polarization 2) mengumumkan hasil risetnya yang
telah berjalan 9 tahun. Pengumuman ini menguak salah satu penemuan terpenting bagi
dunia ilmu pengetahuan abad ke-21, yang bisa disejajarkan bersama pentingnya
penemuan boson Higgs. Saat itu tim BICEP2 di bawah pimpinan John Kovac,
astrofisikawan dari Harvard-Smithsonian Centre for Astrophysics (AS),
mengumumkan ditemukannya bukti langsung tak terbantahkan tentang gagasan
inflasioner (penggelembungan sangat cepat) dalam dentuman besar.
Gagasan
inflasioner muncul lebih dari 3 dasawarsa silam guna menjawab beberapa masalah
yang menggayuti teori dentuman besar. Gagasan ini membuat kita lebih memahami
mengapa jagat raya kita cenderung datar dan homogen (sama rata) dalam skala
makroskopik. Dalam gagasan ini, saat bayi jagat raya masih berusia amat sangat
muda, yakni hanya 0,000000000000000000000000000000000001 detik (atau 10 pangkat
minus 36 detik) pasca dentuman besar, terjadi pengembangan/penggelembungan
sangat cepat sehingga dimensi (diameter) bayi jagat raya melonjak dramatis
berkali-kali lipat. Inflasioner berlangsung sangat singkat dan terhenti pada
saat 0,00000000000000000000000000000001 detik (10 pangkat minus 32 detik) pasca
dentuman besar. Namun dalam tempo yang amat sangat singkat itu dimensi jagat
raya membengkak hebat hingga
1.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000.000
kali lipat (10 pangkat 60 kali lipat) dari semula. Sehingga bila awalnya bayi
jagat raya hanyalah sebuah titik yang jauh lebih kecil ketimbang proton, maka
pasca inflasioner usai ukurannya telah menjadi sebesar ketupat.
Setelah
inflasioner usai, sebagai reaksinya terlepaslah gelombang gravitasi yang
kemudian mengisi bayi jagat raya (yang kini telah sebesar ketupat). Dan 380.000
tahun kemudian, tatkala atom-atom Hidrogen netral mulai sepenuhnya terbentuk
tanpa terionisasi kembali, terbentuklah cahaya tertua yang lantas berinteraksi
dengan gelombang gravitasi pasca inflasioner hingga terbentuk pola-pola
tertentu didalamnya. Pola-pola itu tetap terbawa dalam cahaya tersebut meski
jagat raya kemudian makin dewasa dan menua dengan mengembang kian luas sehingga
panjang gelombang cahaya tertua tersebut terus membesar sampai akhirnya keluar
dari spektrum cahaya tampak maupun inframerah dan kini berada di dalam spektrum
gelombang mikro. Inilah radiasi latar belakang kosmik.
Seperti
halnya gelombang elektromagnetik pada umumnya, radiasi latar belakang kosmik
pun dapat terkutubkan (terpolarisasi). Fakta ini dijumpai semenjak 2002.
Berbekal penemuan ini maka tim BICEP2 mulai mencoba menelaah sifat polarisasi
radiasi latar belakang kosmik lebih lanjut dengan membangun fasilitas teleskop
Antartika atau SPT (South Pole Telescope) yang bekerja pada panjang gelombang
dalam orde milimeter/submilimeter. Penelitian ini sangat sulit. Sebab untuk
mendeteksi polarisasi pada radiasi latar belakang kosmik, tim BICEP harus
membangun instrumen dengan sensitivitas sangat tinggi sehingga fluktuasi kecil
dalam radiasi latar belakang kosmik, yang berkorespondensi pada fluktuasi suhu
hanya 0,1 mikroKelvin (0,1 mikroCelcius). Namun kerja keras semenjak 2005
akhirnya terbayar juga kala tim BICEP2 memastikan adanya polarisasi moda-B
dalam radiasi latar belakang kosmik, jejak yang hanya bisa dihasilkan dari
tahap inflasioner dalam dentuman besar.
Multijagat
Gambar
6. Ilustrasi beberapa jagat raya (masing-masing digambarkan sebagai gelembung)
dalam konstelasi multijagat. Nampak jagat raya kita yang masih terus
mengembang, sementara jagat raya lain ada yang juga terus mengembang, namun ada
juga yang sedang mulai menyusut/mengecil kembali. Seluruh jagat raya ini lahir
dari fluktuasi kuantum. Sumber: National Geographic, 2014.
|
Ditemukannya
bukti langsung tahap inflasioner membawa kita pada implikasi lain yang lebih
serius. Menurut mekanika kuantum, inflasioner merupakan imbas dari fluktuasi
kuantum. Fluktuasi yang sama juga akan menghasilkan dentuman-dentuman besar
yang lain hingga memunculkan ruang-ruang waktu yang lain pula. Dengan kata
lain, proses yang membentuk jagat raya kita lewat dentuman besar dengan tahap
inflasioner didalamnya pun dapat pula membentuk jagat-jagat raya yang lain.
Dengan kata lain, jagat raya kita bukanlah satu-satunya jagat raya yang ada,
namun tumbuh dan berkembang bersama dengan jagat-jagat raya yang lain dalam
konstelasi multijagat! Tentu, ini masih sebatas anggapan.
Seberapa
banyak jagat-jagat raya lainnya yang ada di luar jagat raya kita? Di atas
kertas cukup banyak, meski mustahil untuk bisa membuktikan keberadaannya (pada
saat ini). Sebab eksistensi multijagat itu hanya mengemuka dalam imajinasi
kita. Namun jika jagat-jagat raya lain itu benar-benar ada, maka eksistensinya
mungkin menjadi salah satu faktor krusial yang menopang jagat raya kita,
khususnya bagaimana jagat raya kita seisinya memiliki parameter-parameter yang
pas (fine-tuned) baik dalam skala makro maupun mikro sehingga dapat kita amati.
Dengan kata lain, keberadaan multijagat mungkin menjadi jawaban bagaimana jagat
raya kita ini demikian pas sehingga memungkinkan kita umat manusia untuk hidup
didalamnya, meski hanya sebatas di pojokan kecil yang bernama planet Bumi.
Salah satu perhitungan memperlihatkan bahwa agar jagat raya kita ini ada dan
mampu menopang kehidupan umat manusia, dibutuhkan setidaknya 10 pangkat 400
jagat-jagat raya yang lain!
Jagat-jagat
raya lain, jika ada, mungkin juga akan memberikan jawaban dimana sumur tanpa
dasar lubang hitam bermuara. Di atas kertas, sumur tanpa dasar itu sejatinya
terowongan tak kasat mata, yang menghubungkan satu titik dengan titik lainnya
dalam jagat raya kita. Dapat pula sumur tanpa dasar itu merupakan terowongan
yang menghubungkan satu titik dalam jagat raya kita dengan titik lain di jagat
raya lain. Inilah konsep lubang cacing (wormhole). Meski sangat sulit
dibuktikan secara ilmiah, konsep lubang cacing amat populer dalam kisah-kisah
fiksi sebagai jalan pintas untuk sampai ke lokasi yang sejatinya sangat jauh
dalam tempo sangat singkat. Normalnya perjalanan Jakarta-Surabaya harus
ditempuh dalam waktu minimal sejam dengan menggunakan pesawat terbang. Namun
bila perjalanan berlangsung dengan terowongan ruang-waktu dalam konsep lubang
cacing, maka Jakarta-Surabaya dapat ditempuh hanya dalam beberapa menit (bahkan
dalam beberapa detik saja !) dengan berjalan kaki, asal tahu caranya. Sebab
ilmu pengetahuan telah memperingatkan bahwa lubang cacing ini, jika benar-benar
ada, adalah sangat takstabil sehingga keburu lenyap dalam sekejap bahkan saat
kita baru menjejakkan ujung jari kaki kita kedalamnya. Hanya jika kita
mempunyai materi eksotik dengan massa negatif saja (sehingga memiliki energi
negatif) maka lubang cacing dapat distabilkan dan dimungkinkan dilalui.
Gambar
7. Ilustrasi bagaimana melakukan perjalanan antar jagat raya dengan
memanfaatkan terowongan ruang-waktu berupa lubang cacing yang telah terbuka dan
stabil. Sumber: NASA, 2014.
|
Cukup
menarik untuk mencermati bagaimana pengembangan jagat raya, lubang hitam, sumur
tanpa dasar, inflasioner, multijagat hingga lubang cacing membawa implikasi
baru dalam memahami dan menafsirkan peristiwa mi’raj Rasulullah Muhammad SAW
yang menakjubkan. Kata “tujuh” dalam bahasa Arab dapat memiliki arti jamak
(banyak), sehingga “langit ketujuh” bisa diterjemahkan menjadi “langit (yang)
banyak.” Jika kata-kata “langit” dianggap sebagai “jagat raya”, maka “langit
ketujuh” dapat dianggap setara dengan kata-kata “jagat raya (yang) banyak” atau
“jagat-jagat raya”. Dengan demikian mi’raj menuju Sidratul Muntaha di langit
ketujuh dapat dianggap bisa dibahasakan ulang menjadi perjalanan luar biasa
menuju Sidratul Muntaha yang terletak di jagat-jagat raya lain. Jalan pintas
untuk perjalanan menakjubkan menembus ruang-waktu semacam ini bisa dengan
melalui lubang cacing, dengan mulut terowongan pada saat itu menjulur hingga
pelataran Masjid al-Aqsha. Agar perjalanan bisa dilakukan, maka lubang cacing
perlu distabilkan oleh materi eksotik bermassa negatif (sehingga berenergi
negatif). Materi tersebut mungkin tak pernah ada dalam jagat raya kita masa
kini, namun mungkin berlimpah di jagat-jagat raya yang lain. Sehingga
perjalanan menuju ke jagat-jagat raya lain tersebut hanya bisa berlangsung tatkala
penghuninya berkehendak untuk itu. Dan begitu mi’raj usai, maka materi eksotik
tersebut pun ditarik kembali sehingga lubang cacing pun tertutup dan menghilang
sepenuhnya dari pelataran Masjid al-Aqsha.
Benarkah
demikian? Wallahua’lam. Bagaimana dengan surga dan neraka, apakah mereka juga
berada dalam salah satu dari jagat-jagat raya lain tersebut? Wallahua’lam. Yang
jelas ilmu pengetahuan masakini baru saja membuktikan bahwa inflasioner memang
benar, memang pernah terjadi di awal jagat raya kita. Dan faktor yang memicu
inflasioner dapat saja menghasilkan jagat-jagat raya yang lain. Jagat raya yang
mungkin sama dengan jagat raya kita dan dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang
sama pula. Namun dapat pula jagat raya yang berbeda dengan hukum-hukum alam yang
sama sekali berbeda dengan jagat raya kita. Namun sekalipun berbeda,
jagat-jagat raya lain tersebut tetap terhubung dengan jagat raya kita melalui
terowongan ruang-waktu yang disebut lubang cacing. Barangkali hanya sosok agung
yang dipilih sendiri oleh-Nya yang sanggup melintasi terowongan ini dan
mengadakan perjalanan antar jagat raya kala hayat masih dikandung raga.
source: ekliptika
No comments