Pemetaan, Menentukan Kiblat di Era Kejayaan Islam
Para
ilmuwan Muslim di era keemasan peradaban Islam telah mengembangkan metode
pemetaan. Dengan menguasai pemetaan, para astronom mampu menentukan posisi
lintang dan bujur tempat-tempat di permukaan bumi. Hasilnya bisa digunakan
untuk beragam kepentingan. Salah satunya untuk menghitung hasil pengamatan
posisi benda-benda yang ada di langit.
Menurut
Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic Technology:
An Illustrated History mengungkapkan, para astronom Muslim memiliki beberapa
cara untuk menemukan koordinat suatu benda di langit. Salah satunya dengan
menentukan garis meridian, yakni garis yang melintang dari arah selatan suatu
tempat kemudian ditarik hingga ke kutub utara langit dan titik zenith.
''Untuk
menentukan arah meridian, cara paling sederhana yang digunakan para astronom
saat itu adalah dengan mengukur lintang bintang circumpolar, yakni bintang yang
cukup dekat dengan kutub langit sehingga selalu muncul horison,'' ungkap
al-Hassan dan Hill. Pada saat yang sama, diukur pula sudut horisontalnya
terhadap sebuah titik pada garis horison.
Menurut
al-Hassan, pengukuran itu dilakukan dua kali, ketika bintang berada di timur
pengamatan dan ketika berada di sebelah barat. Menurut al-Hassan dan Hill,
garis meridian diperoleh dengan membagi dua sudut horisontal. Selanjutnya
penentuan bujur dapat dilakukan dengn mudah, yakni dengan mengamati tinggi
matahari dan bintang ketika melewati meridian.
Selain
itu, para astronom Muslim juga sudah mampu menentukan garis lintang. Sayangnya,
kata al-Hassan, metode yang digunakan untuk menentukan lintang itu tak seakurat
metode penentuan garis bujur. Guna menentukan lintang yang sangat akurat, papat
dia, dibutuhkan alat ukur waktu yang andal bernama Kronometer. "Kronometer
yang demikian baru ada setelah pertengahan abad ke-18 M, sehingga para astronom
Muslim harus menggunakan metode pengukuran lain yang tentu saja tidak
bergantung pada keakuratan pengukuran waktu," ungkap al-Hassan dan Hill.
Untuk
menentukan lintang, para astronom Muslim di era kekhalifahan mengembangkan dua
teknik. Pertama, mereka melakukan pengamatan gerhana bulan dari dua tempat
berbeda dengan objek pengamatan atau peristiwa yang sama. "Misalnya ketika
bulan bergerak menuju bayangan Bumi dan kemudian membandingkan hasilnya,"
tutur al-Hassan dan Hill. Menurut al-Hassan, perbedaan waktu kejadian dari
suatu peristiwa serupa di kedua tempat itu merupakan besar perbedaan
lintangnya. Sedangkan pada metode kedua, para astronom mengukur jarak ke arah
timur-barat suatu tempat dari tempat lain yang diketahui (atau diasumsikan)
lintangnya.
Setelah
lintang dan bujur dua tempat diketahui, maka dapat ditentukan arah satu tempat
ke tempat lain. Dan besaran yang dihasilkan adalah azimuthnya, yakn besar sudut
jurusan yang diukur dari arah utara ke rah timur (searah jarum jam) hingga
garis arah kedua titik. "Salah satu aplikasi perhitungan ini, yaitu
penentuan arah Makkah dari tempat tertentu (kiblat)," kata al-Hassan dan
Hill.
Penentuan
arah Makkah atau kiblat ini merupakan sesuatu yang penting bagi ilmuwan Muslim
era kekhalifahan. Para ilmuwan Muslim akhirnya bisa memecahkan penentuan arah
kiblat pada abad ke-3 H/9 M sampai ke-8 H/14 M. Ini membuktikan kecanggihan
trigonometri yang digunakan para astronom Muslim serta kecanggihan teknik
perhitungan yang telah mereka capai.
"Karena
azimuth suatu tempat bersifat relatif terhadap tempat lain dapat ditentukan,
secara teoritis akan mungkin untuk membuat jalan atau kanal lurus antara dua
kota," jelas al-Hassan dan Hill. Namun, imbuh al-Hassan dan Hill, dalam
praktiknya, hal itu tidak dapat direalisasikan. Pasalnya, rute-rute ditentukan
keadaan daerah dan masalah pemilikan lahan. Sementara kanal-kanal itu harus
sedekat mungkin dengan daerah pertanian yang akan dialirinya. "Oleh karena
itu, rute-rute ditentukan dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan praktis
ini," kata al-Hassan dan Hill.
Sebelum
penggalian kanal, selain menentukan rute, perlu juga diperhitungkan pendataran
tanah sepanjang rute tersebut dari awal hingga akhir. Proses pendataran tanah
itu membutuhkan garis pandang horisontal yang pada instrumen modern diperoleh
dari benang silang dalam teropong dan sifat datar."Para surveyor Muslim
menggunakan beberapa instrumen yang didasarkan pada prinsip yang sama, meski
tak satupun yang mempunyai teleskop, mereka memakai penglihatan langsung,"
ungkap al-Hassan dan Hill.
Menurut
al-Hassan dan Hill, salah satu instrumen yang yang digunakan adalah segitiga
logam dengan pengait logam dipatrikan di kedua ujung salah satu sisinya.
Unting-unting dengan pemberat seperti bandul di ujungnya dipasang pada
tengah-tengah sisi tadi. Dua rambu tegak yang dibagi-bagi dalam graduasi 12
sentimeter dan kemudian dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil ditegakkan
oleh asisten pemegang rambu dalam jarak tujuh meter.
''Seutas
kawat direntangkan antara kedua bambu dan segitiga logam tadi digantungkan
dengan kedua pengaitnya di tengah-tengah kawat ini. Salah satu ujung kawat
digerakkan ke atas dan ke bawah rambu sampai tali unting-unting tepat
menunjukkan sudut bahaw segi tiga,'' papar al-Hassan.
Metode
yang sama juga digunakan pada kayu sepanjang setengah meter dengan lubang
mendatar. Pada proses ini juga digunakan bandul logam yang diikatkan pada
tengah kayu. Bandul ini berfungsi sebagi garis unting-unting. Kemudian kayu
tersebut diletakkan di atas kawat, selanjutnya pendataran dilakukan seperti
cara yang telah disebutkan tadi.
Metode
ketiga yang digunakan para ilmuwan Muslim untuk menetukan sifat datar adalah
dengan menggunakan bambu lurus panjang yang salah satu sisinya dilubangi. Bambu
tersebut dipegang kedua rambu tegak di masing-masing ujungnya. Dan
seorangasisten menuangkan air ke dalam bambu melalui lubang tadi. "Bambu
dianggap horizontal jika air yang keluar dari kedua ujungnya sama banyak,"
kata al-Hassan an Hill.
Para
ilmuwan juga mencatat beda ketinggian, dan pemegang rambu pindah ke titik
selanjutnya dalam lintasan rute. Kemudian prosedur yang sama dilakukan kembali.
Al-Hassan menambahkan, "Jika rute sudah selesai dipetakan, total (jumlah
aljabar) 'naik' dan 'turun' dari semua titik pangkalan menunjukkan perbedaan
tinggi titik awal dan titik akhir.
Menurut
al-Hassan dan Hill, cara yang sama juga digunakan untuk memperoleh kemiringan
yang tepat pada penggalian kanal. Sedangkan untuk memperoleh tinggi dan sudut
objek-objek yang jauh, para surveyor Muslim menggunakan astrolab. Di bagian
belakang instrumen, pada setengah lingkaran bawahm terdapat sebuah siku-sku
atau kadang-kadang sepasang siku-siku dengan ukuran sama.
Jika
astrolab digantung secara bebas, alidad atau garis pembidik diatur sedemikian
rupa sehingga objek jauh yang perlu diketahui tingginya dapat terlihat melalui
pembidik. Demikianlah metode pemetaan yang diterapkan para ilmuwan Muslim di
era kejayaan Islam.
Penentuan
Arah Kiblat
Ada
beragam metode untuk menentukan arah kiblat. Guna mencari arah kiblat,
diperlukan perhitungan yang cermat dan sedetil mungkin, sehingga diperlukan
data yang valid untuk dijadikan bahan hitungan. Beberapa data yang diperlukan
itu antara lain; arah utara selatan dan timur barat.
Untuk
menentukan titik utara selatan terdapat beberapa cara, yaitu dengan menggunakan
theodolit, tongkat istiwa (sundial), teropong, kompas. Di antara cara-cara
tersebut, yang paling mudah, murah, dan memperoleh hasil yang teliti
adalah dengan mempergunakan tongkat istiwa.
Caranya,
tancapkan sebuat tongkat lurus pada sebuah pelataran datar yang berwarna putih
cerah. Panjang tongkat sekitar 30 cm dan berdiameter satu cm. Ukurlah dengan
lot dan waterpass sehingga pelataran betul-betul datar dan tongkat betul-betul
tegak lurus terhadap pelataran. Lalu, lukislah sebuah lingkaran berjari-jari
sekitar 20 cm yang berpusat pada pangkal tongkat tadi.
Kemudian,
amati dengan teliti bayang-bayang tongkat beberapa jam sebelum tengah hari
sampai sesudahnya. Semula, tongkat akan mempunyai bayang-bayang panjang
menunjuk ke arah Barat. Semakin siang, bayang-bayang semakin pendek, lalu
berubah arah sejak tengah hari. Kemudian semakin lama bayang-bayang akan
semakin panjang lagi menunjuk ke arahTimur. Dalam perjalanan seperti itu, ujung
bayang-bayang tongkat akan menyentuh lingkaran sebanyak dua kali pada dua
tempat, yaitu sebelum tengah hari dan sesudahnya.
Selanjutnya
kedua sentuhan itu kita beri tanda dan hubungkan antara keduanya dengan garis
lurus. Garis ini merupakan arah Barat-Timur secara tepat. Lalu lukislah garis
tegak lurus pada garis Barat-Timur tersebut, maka akan memperoleh garis
Utara-Selatan yang persis menunjuk titik Utara sejati.
source:
bakosurtanal
No comments