METODE PENETAPAN AWAL BULAN HIJRIYAH PERSATUAN ISLAM
Terkait metode untuk mengetahui kemunculan hilal sebagai
pertanda masuknya awal bulan baru dalam penetapan awal bulan Hijriah,
setidaknya ada dua metode yang dipakai, yaitu Metode Rukyat dan Metode Hisab.
1.
Metode Rukyat
Rukyat secara bahasa berarti
melihat. Secara Istilah adalah metode menetapkan awal bulan Hijriah dengan cara
melihat langsung kemunculan hilal saat Magrib pada tanggal 29 bulan berlangsung
di ufuk Barat. Bila hilal terlihat maka dari malam itu sudah masuk tanggal 1
bulan baru. Bila hilal tidak terlihat, maka bulan berlangsung di istikmal
(digenapkan) 30 hari. Tanggal 1 bulan baru ditetapkan pada Magrib hari
berikutnya.
Metode rukyat telah digunakan
oleh bangsa Arab sebelum Islam[1]. Kemudian setelah Islam datang,
metode rukyat juga digunakan oleh Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin masa awal.
Dengan demikian Metode Rukyat ini hanya tradisi bukan ta’abudi. Nampaknya,
metode rukyat dipilih oleh Rasulullah
Saw. dan kaum Muslimin masa awal karena pertimbangan kemudahan atau raf‛ul harāj. Atau dengan kata lain,
dipilihnya metode rukyat karena ada ‘illat (kausa hukum)[2],
yaitu keadaan ummat yang masih ummi,
Hal ini tergambar dari sabdanya:
Ø¥ِÙ†َّا Ø£ُÙ…َّØ©ٌ Ø£ُÙ…ِّÙŠَّØ©ٌ، لاَ Ù†َÙƒْتُبُ Ùˆَلاَ Ù†َØْسُبُ، الشَّÙ‡ْرُ Ù‡َÙƒَØ°َا ÙˆَÙ‡َÙƒَØ°َا
ÙŠَعْÙ†ِÙŠ Ù…َرَّØ©ً تِسْعَØ©ً ÙˆَعِØ´ْرِينَ، ÙˆَÙ…َرَّØ©ً Ø«َلاَØ«ِينَ
Artinya: Sesungguhnya kami ini ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan
tidak dapat menghitung; Sebulan itu sekian dan sekian, ya’ni terkadang 29
(hari) dan terkadang 30 hari.” HR. Al-Bukhārī dari sahabat Ibnu Umar[3].
Dalam
Qawaid fiqhiyyah disebutkan:
اَÙ„ْÙ€ØُÙƒْÙ… ÙŠَدُÙˆْرُ Ù…َعَ العِÙ„َّØ©ِ ÙˆُجُÙˆْدًا Ùˆَ عَدَÙ…ًا
al-Ustadz KH. A. Ghazali berkata ketika
mengomentari hadis Ummi di atas, “Sehubungan dengan cara untuk mencari
tahu penanggalan awal bulan, orang-orang di zaman dahulu tidak mempunyai alternatif lain kecuali
dengan cara rukyat, maka rukyatlah yang menjadi tradisi mereka, tapi rukyat itu
bukan ibadah mahḍah yang
tata cara dan kaifiyahnya diatur oleh Allah dan Rasul-Nya. Selain dari itu
karena kondisi umat yang umumnya merupakan ummatun ummiyatun (umat yang
tidak biasa tulis baca) sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw. sendiri
dalam sebuah hadis: Sesunguhnya kami ini umat yang ummi, tidak bisa menulis
dan membaca, sebulan itu sekian dan sekian dan sekian dan Nabi Saw. melipatkan
ibu jarinya pada yang ketiganya (yakni sebulan itu ada yang 29) dan sebulan itu
sekian, dan sekian dan sekian yakni 30 hari sempurna. (Ṣaḥīḥ Muslim 3:
124/ cet.1330). Keummiyannya Rasulullah Saw. dan para sahabat pada umumnya, bukan
untuk dicontoh dan diabadikan. Hadis itu sendiri tidak mengandung makna umat
Islam harus ummiyatun haram bisa tulis dan baca… Pada masa kondisi umat
masih ummiyatun upaya untuk mengetahui awal bulan dengan cara rukyat
bil fi'li yakni langsung melihat dengan mata telanjang, namun karena
cara-cara tersebut bukan merupakan ibadah mahḍah, pada masa umat sudah bisa baca tulis dan
ilmu hisab falak telah berkembang, maka upaya untuk mengetahui awal bulan itu
tidak selalu mesti dengan rukyat bil fi'li, dengan ilmu hisab pun dapat
diupayakan, atau keduanya dapat dipadukan dalam rangka untuk menghilangkan
keraguan”. (Risalah No.8 TH. XXXV Oktober 1997)
Dengan demikian, penggunaan
metode rukyat oleh Nabi Saw. dan kaum muslimin masa awal bukan berarti menafikan
metode lain untuk mengetahui kemunculan hilal penentu awal bulan Hijriah
(seperti metode hisab).
Hisab secara bahasa adalah
menghitung. Secara istilah adalah metode menetapkan awal bulan Hijriah dengan
cara menghitung kemunculan hilal. Bila hilal secara hisab/perhitungan saat Magrib
tanggal 29 bulan berlangsung sudah “nampak”, maka masuk tanggal 1 bulan baru.
Bila secara hisab hilal belum “nampak”, maka bulan berlangsung di istikmal (digenapkan)
30 hari. Tanggal 1 bulan baru ditetapkan pada Magrib hari berikutnya.
Bila melihat sejarah, dalam
penetapan awal bulan Hijriah, Persatuan Islam (PERSIS) dari masa KH.
Abdurrahman sampai sekarang menggunakan metode hisab. Bahkan hal ini telah
dikukuhkan pada sidang Dewan Hisbah Persis, sidang kedua pasca Muktamar XII di
Pesantren Persis Ciganitri 24 Rabiul Awwal 1422 H/ 16 Juni 2001 M tentang: “Kedudukan
hisab dan ru’yat dalam penetapan awal bulan” dengan keputusan bahwa:
“Menetapkan awal bulan Hijriah dengan hisab, sah untuk melaksanakan ibadah”.
Ragam
Kriteria Hisab Awal Bulan Hijriah
Setelah
melakukan hisab (perhitungan) berbagai variabel terkait Bulan dan Matahari,
mulai dari waktu ijtimak , terbenam Matahari, tinggi Bulan saat Matahari
terbenam, elongasi Bulan-Matahari dan sebagainya, maka untuk menentukan masuk
tidaknya awal bulan secara hisab diperlukan sebuah kriteria awal bulan.
Setidaknya ada tiga kriteria hisab awal bulan Hijriah yang
berkembang di Indonesia:
1.
Ijtimak Qablal Gurub: Awal bulan dinyatakan masuk bila
secara hisab ijtimak terjadi sebelum
Matahari terbenam.
2.
Wujudul Hilal: Awal
bulan dinyatakan masuk bila secara hisab ijtimak sudah terjadi sebelum Matahari terbenam,
Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan, serta Bulan memiliki ketinggian positif.
3.
Imkan Rukyat: Awal bulan
dinyatakan masuk bila secara hisab ijtimak sudah terjadi sebelum Matahari terbenam,
Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan, Bulan memiliki ketinggian positif serta secara hisab cahaya sabit Bulan
sudah bisa dilihat (visible).
Bila
melihat sejarah, kriteria hisab awal bulan Hijriah
yang digunakan di Persis terus mengalami perkembangan. Kriteria
hisab Awal bulan Hijriah di Persis di awali dengan kriteria hisab Ijtimak
Qablal Gurub (IQG). Kriteria IQG ini dipakai di Persis hampir 35 tahun (1960
-1995 M), yang digunakan oleh KH. E. Abdurrahman dan KH. A. Ghazali. Kemudian
pada tahun 1996 M kriteria IQG berkembang
menjadi
Kriteria Wujudul Hilal. Kriteria ini digunakan oleh KH. A. Ghazali dalam
penyusunan Almanak Islam selama 6 tahun (1995 M - 2001 M/1416 H - 1422 H)[5].
Setelah itu kemudian kriteria Hisab di Persis berkembang lagi menjadi kriteria
Imkan Rukyat[6]
(masa KH. Abdurahman Ks) yang digunakan dalam penyusunan Almanak dari tahun 2002-sekarang.
Terkait
kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal), awalnya kriteria hisab Imkan
Rukyat yang di pakai oleh PERSIS adalah Kriteria Imkan Rukyat berdasar
kesepakatan MABIMS (Mentri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Kriteria MABIMS ini diaplikasikan dalam
Almanak Islam selama 10 tahun (2002-2012). Kemudian karena dirasa kriteria
MABIMS kurang sesuai dengan kenyataan dilapangan dan perkembangan Astronomi,
akhirnya Persis menggunakan kriteria Astronomis LAPAN (2013-sekarang)[7],
yang merumuskan bahwa cahaya sabit Bulan sudah bisa dilihat (imkan rukyat) dan
awal bulan dinyatakan masuk bila: [1] Beda Tinggi Bulan-Matahari toposentris
minimal 4° [2] Elongasi
Bulan-Matahari toposentris minimal 6.4°.
Dari
jejak sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa sejak zaman Ust. Abdurrahman
sampai sekarang, Persis menggunakan metode Hisab dalam penentuan awal
bulan Hijriah. Namun berkembang kriteria hisab dan variabel yang dihisabnya
(dihitungnya):
§ Ijtimak
Qablal Gurub (1960 -1995 M)
Variabel yang dihitungnya:
1) Ijtimak sebelum Gurub
§ Wujudul
Hilal (1995-2001 M)
Variable yang dihitungnya:
1) Ijtimak sebelum Gurub
2) Matahari terbenam sebelum
Bulan
3) Posisi Bulan saat Gurub ada
di atas ufuk
§ Imkan
Rukyat (2002 – sekarang)
Variabel yang dihitungnya:
1) Ijtimak sebelum Gurub
2) Matahari terbenam sebelum
Bulan
3) Posisi Bulan saat Gurub ada
di atas ufuk
4) Cahaya Sabit Bulan harus sudah bisa dilihat.
Apakah Rukyat masih di perlukan di Persis?
Setelah Persis memutuskan
menggunakan metode hisab dalam penetapan awal bulan Kamariah (bukan metode rukyat),
apakah rukyat masih diperlukan di Persis?
Jawabnya:
Masih. Sebab:
1.
Hisab itu berasal dari rukyat
(observasi/pengamatan) yang dilakukan jangka panjang (baratus tahun). Hingga
karena rukyat, hisab bisa menghitung pergerakan dan posisi sebuah benda langit
dengan akurat. Dengan demikian rukyat tetap diperlukan untuk mengetahui
dinamika pergerakan benda-benda langit itu sendiri.
2.
Untuk menguji tingkat
akurasi berbagai macam metode hisab.
3.
Kriteria hisab imkan
rukyat yang digunakan
Persis merupakan kriteria hisab yang dinamis, yang akan terus berkembang
sesuai dengan data pengamatan (rukyat/observasi).
4.
Rukyat diperlukan di Persis bila dipenghujung awal bulan Hijriah
secara hisab, hilal belum bisa dilihat (karena belum masuk kriteria). Rukyat diperlukan
untuk mengkonfirmasi apakah ada laporan rekor baru keterlihatan hilal
atau tidak.
Terkait Point 4 di Persis ditetapkan
syarat penerimaan laporan kesaksian melihat hilal sebagaimana tercantum dalam
Hasil Musyawarah Dewan Hisab dan Rukyat Nomor 003/PP-C.1/A.3/2011. Bahwa: “Hasil
rukyat tersebut dapat kita terima dengan syarat kesaksian lebih dari satu
tempat dan dibuktikan dengan citra visual hilal”. Hasil Sidang DHR ini
telah dikukuhkan menjadi Surat Keputusan Bersama dengan Dewan Hisbah pada
sidang hari Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 10:30 WIB di PP Persis, Bandung dan
selanjutnya ditetapkan menjadi keputusan PP Persis melaui Rapat Pimpinan
tasykil PP Persis pada hari Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 15:00 WIB di PP
Persis, Bandung.
Adanya syarat ini dapat dipahami, sebab bila
memperhatikan fakta-fakta rukyat dilapangan, banyak sekali kejanggalan dalam
pelaksanaan rukyat. Juga hal ini
merupakan implemantasi upaya penyeimbangan antara ‘adalah dan ḍabt si perukyat dalam penerimaan
laporan rukyat.
Kesimpulan:
Dalam
penetapan awal bulan Hijriah, Persis dari sejak KH. Abdurrahman memposisikan
diri pada metode hisab bukan rukyat. Kriteria hisab di Persis mengalami
perkembangan terkait variabel yang dihisabnya (dihitungnya). Walau Persis
berfaham hisab, namun rukyat masih tetap diperlukan karena alasan-alasan
tersebut di atas.
[1] Mahmūd
Basya mengatakan: “Adapun orang arab di zaman jahiliyah, mereka menggunakan
tahun Kamariah, dengan metode rukyat hilal (Biru’yatil ahillah),
sebagaimana dilakukan oleh orang Islam”.
Lihat, Natāīj
al-Afhām fī
taqwīmil ‛Arab
qabla al-Islam (Mesir: Maṭba‛ah Kubra al-Āmiriyah, 1305
H), hal.50.
[2] Pendapat lain mengatakan, ‘Illat lain Rasulullah Saw.
memilih metode rukyat, tidak memilih metode hisab adalah karena tindakan preventif
(pencegahan) ummat Islam masa awal jatuh ke praktik an-Nāsi. Sebab metode hisab zaman itu, lebih dekat dengan praktik an-Nāsi
(Thesis M. Rozi, “Reformulasi Fiqih awal bulan Kamariah dengan Teori double
Movement bab IV: 125).
[4] asy-Syaukānī , al-Qaulul Mufīd fi adillatil ijtihād wa taqlīd, (Kuwait: Dār al-Qalam, 1396 H), I: 72.
[5] Awalnya
(Mei 1995 M/ Muharam 1416 H) kriteria wujudul hilal yang digunakan dengan
Markaz Bandung, artinya kalau pada saat Magrib di kota Bandung hilal sudah di
atas 0° dari ufuk mar’i atau Matahari lebih dulu terbenam dari pada terbenam
bulan, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan tanggal 1 bulan baru
Hijriah dan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, meskipun ada kota
atau daerah lain yang posisi hilalnya masih di bawah ufuk. Selanjutnya
(September 2000 M/Rabiul awwal 1421 H) kriteria wujudul hilal yang digunakan
adalah awal bulan ditertapkan bila hilal sudah positif di seluruh wilayah
Indonesia.
[6] Hal ini berdasarkan keputusan sidang bersama Dewan Hisbah dan Dewan Hisab dan Rukyat pada tanggal 19 Februari 2012 di Ciganitri, Kab. Bandung dengan judul: "Kriteria Penetapan Awal Bulan Qomariah ; Antara Wujudul Hilal Dan Imkanur Ru'yah" dengan keputusan: Kriteria awal bulan Kamariyah adalah imkanur rukyah.
[7] Hal ini
berdasarkan keputusan sidang bersama Dewan Hisbah dan Dewan Hisab dan Rukyat
pada tanggal 31 Maret 2012 di Bandung dengan judul: "Kriteria Imkanur
Rukyah Persis" dengan keputusan: Kriteria Imkanur Rukyah yang dimaksud
poin (1) pada saat ini adalah jika posisi bulan pada waktu ghurūb (terbenam
Matahari) di salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia : a. Beda
tinggi antara bulan dan Matahari minimal 4 derajat, dan b. Jarak busur antara
bulan dan Matahari minimal sebesar 6.4 derajat.
No comments