KALEIDOSKOP KRITERIA VISIBILITAS HILAL (IMKAN RUKYAT) MABIMS/PEMERINTAH
24-26 Maret 1998
Diadakan musyawarah
ulama ahli hisab dan ormas islam di
Hotel USSU-Bogor dan
menetapkan kriteria Visibilitas hilal (had/imkan rukyat) adalah tinggi 2° dan umur bulan
minimal 8 jam. Kriteria ini merupakan kriteria darurat. Hingga pada saat itu
kriteria ini diberi catatan diantaranya:
- Poin 4: Had/batas minimal ketinggian yang dijadikan pedoman imkanurrukyah dan diterima oleh ahli hisab falaki Syar’I di Indonesia serta negara-negara MABIMS adalah 2° dan Umur bulan minimal delapan jam dari saat ijtimak perlu dikembangkan dengan penelitian-penelitian yang sistematis dan ilmiah.
- Poin 5: Penentuan kreteria Imkanurrukyah seperti yang disepakati oleh MABIMS, sebelum diperoleh hasil yang meyakinkan dari penelitian, bisa dijadikan pedoman bagi departemen agama dalam mempertimbangkan penentuan awal bulan qamariyah dimaksud pada butir 2 berdasarkan hal tersebut bila ada laporan rukyat hilal dalam ketinggian kurang dari 2°, laporan tersebut dapat ditolak, demi memelihara kemaslahatan umum[1].
24 Januari 2004
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Keputusan Fatwa Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Adapun isi
fatwa tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama
: Fatwa
- Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru'yah dan hisab oleh Pemerintah Ri cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
- Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
- Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi terkait.
- Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla'nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Kedua : Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusahakan adanya kriteria penentuan
awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri
Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.
14-15 Agustus 2015 M
Menindaklanjuti rekomendasi Fatwa MUI
Nomor 2 Tahun 2004 M. Kementerian Agama RI kembali membahas
tentang kriteria Nasional penentuan awal bulan hijriah. Pada 14-15 Agustus 2015 M diadakan halaqah
bersama Kementerian Agama RI (Pemerintah), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam se-Indonesia dengan tema: “Penyatuan Metode Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijjah”.
21 Agustus 2015 M
Menindak lanjuti
pertemuan 14-15 Agustus 2015 diadakan pertemuan para pakar astronomi yang membahas penentuan kriteria awal bulan
hijriah, yang hasilnya akan
disampaikan kepada MUI sebelum musyawarah nasional 2015 M.
Adapun hasil usulan draf “Kriteria MUI” yaitu tinggi hilal 3°, elongasi 6.4
°
2-4 Agustus 2016 M
Selanjutnya pada pertemuan tingkat
regional di Malaysia, Muzakarah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura (MABIMS) pada Selasa 2-4 Agustus 2016 M menghasilkan usulan draf “Kriteria
baru MABIMS”, yakni tinggi hilal 3°, elongasi 6.4°. Kriteria
tersebut sebagai koreksi atas kriteria imkanu rukyat MABIMS ketinggian hilal 2° dengan
jarak Bulan-Matahari 3° atau umur
bulan 8 jam.
28-30 November 2017 M
Seminar
Internasional di Jakarta, yang menghadirkan 14 negara, yaitu: Brunei Darussalam,
Malaysia, Singapura, Turki, Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Maroko,
Yordania, Iran, Amerika Serikat, Inggris, India, dan Irlandia, merekomendasikan kriteria visibilitas hilal baru (imkan
rukyat) yakni
tinggi hilal 3°, elongasi
6.4°.
24 – 26 Juli 2019
Akan di adakan
Musker di Bangka-Belitung yang di selenggarakan oleh Kementrian Agama RI yang
salah satunya kembali membahas tentang kriteria visibilitas hilal baru di
Indonesia atau MABIMS dengan hasil yang belum bisa diketahui. Namun apapun
keputusan kriterinya nanti, asalkan ilmiah, disepakati bersama dan dilaksanakan
dengan konsisiten, insyaallah akan diterima.
Catatan:
- Kriteria Tinggi 3°, Elongasi 6.4° yang diusulkan sebagai kriteria bersama, merupakan kriteria LAPAN yang telah lama digunakan oleh PERSIS dari tahun 1434 H (2012) namun dengan konversi dari beda tinggi hilal ke tinggi hilal. Beda tinggi hilal 4° = Tinggi hilal 3° (aslinya 3.2° namun di bulatkan).
- Kriteria Tinggi 3°, Elongasi 6.4° yang diusulkan pun merupakan perbaikan atas kriteria Turki Tinggi 5°, Elongasi 8°
[1] Jurnal Hisab Rukyat, Departemen Agama RI, Direktorat
Pembinaan Badan Peradailan Agama, 1999/2000, hal. 79-80
No comments