KESAKSIAN RUKYAT: TA'ABUDI ATAU TA'AQULIY
Dalam kitab-kitab fiqih,
banyak disebutkan berbagai pembahasan tentang kesaksian rukyat. seperti
pembahasan syahadat perukyat sampai jumlah saksi rukyat. Hal ini dikarenakan
banyak hadits-hadits yang membahas tentang kesasian rukyat diantaranya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ أَعْرَابِيَّا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ:
إِنِّيْ رَأَيْتُ الهِلاَلَ، فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؟
قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله؟ قَالَ: نَعَمْ.
قَالَ : فَأَذِّنْ فِى النَّاسِ يَا بِلاَلُ، أَنْ يَصُوْمُوا غَدًا.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas telah datang seorang Arab
(baduy) kepada Nabi SAW, ia berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat hilal
(Ramadhan)”. Lalu Nabi bersabda,”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah?” Dia berkata, “ya” Kemudian beliau bersabda lagi, “Apakah kamu
bersaksi bahwa Muhamad itu Rasulullah” Dia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi
bersabda, “Wahai Bilal, beritahu orang-orang untuk shaum besok hari” (HR.
al-Khamsah, dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمُومَتِي
مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالُوا أُغْمِيَ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ
رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا وَأَنْ يَخْرُجُوا إِلَى عِيدِهِمْ
مِنْ الْغَدِ
Artinya: “Dari Abu Umair bin Anas bin Malik, ia berkata,
“Paman-pamanku, para sahabat Rasul dari kaum Anshar, berkata, ‘Hilal Syawal
terhalang bagi kami (Ramadhan jadi digenapkan 30 hari). Maka pagi hari (30
Ramadhan) kami saum. Kemudian datang rombongan di penghujung siang, lalu
bersaksi di hadapan Nabi saw. bahwa mereka melihat hilal Syawal kemarin. Maka
Nabi memerintah mereka untuk berbuka dan melaksanakan ied pada esok hari’.”
(HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:529; Abu Daud, I:300; Ibnul Jarud,
al-Muntaqa, hal. 77; an-Nasai, as-Sunan al-Kubra, I:542, dengan sedikit
perbedaan redaksi).
عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا
بِشَهَادَتِهِمَا
Artinya: “Rasulullah
telah mengamanatkan kepada kami agar melaksanakan ibadah haji karena melihat
hilal (Dzulhijjah). Maka jika kami tidak melihatnya, sedang 2 orang saksi adil
melihatnya, maka kami ibadah haji berdasarkan rukyat kedua saksi itu (HR. Abu
Daud, Sunan Abu Daud, II:301).
Pada bagian awal telah
diterangkan bahwa masuknya bulan Qamariyah adalah dengan kemunculan hilal.
Dengan demikian hemat kami, berbagai kejadian kesaksian hilal dalam
hadits-hadits di atas, bukanlah sebuah ta’abudi yang goer ma’qulil
ma’na, tapi ta’quli ma’qulil
ma’na. Mengingat objek kesaksiannya adalah benda zahir (Hilal) yang dapat
dilihat dan di buktikan terutama untuk saat ini. Maka inti hadits-hadits di
atas hemat kami lebih ke “mencari kebenaran apakah yang dilihat si perukyat
itu benar-benar hilal”. Jaman Nabi Saw. tidak ada cara lain untuk
membuktikan kebenaran yang dilihat si perukyat
hilal atau bukan kecuali hanya dengan “kepercayaan pada si perukyat”.
Inilah kenapa ada syahadat[1],
kemudian kesaksiannya minimal 2 orang, atau 1 orang tapi kredibel[2].
Hal-hal Ini hanya untuk menguatkan “kepercayaan pada si perukyat” guna
“mencari kebenaran apakah yang dilihat si perukyat itu benar-benar hilal”.
Jaman ini ada cara lain, untuk “mencari
kebenaran apakah yang dilihatnya itu benar-benar hilal”, ̶ bukan
hanya dengan syahadat, kesaksiannya minimal 2 orang, atau 1 orang tapi kredibel
̶ yakni dengan diperbandingkan dengan
data-data hisab yang akurat, serta rekaman alat-alat rukyat saat melakukan
rukyat.
Hingga dijaman ini, bisa saja
kesaksian hilal ditolak, bila kesaksian bertolak belakang dengan data data
hisab. Misalkan, ada yang bersaksi tapi data hisab menyatakan hilal sudah
terbenam (seperti kasus 1 Syawal 1412, 1413, dan 1414 H merupakan contoh kasus
tidak diterimanya laporan Rukyat karena sudah terbenam) atau cahaya sabit Bulan
muda saat itu belum bisa dilihat karena belum masuk kriteria visibiltas
hilal (Seperti kasus Syawal 1418 H pada waktu itu semua sistem sepakat bahwa
pada saat Matahari terbenam tanggal 28 Januari 1998 hilal awal Syawal di atas
ufuk 0 -1,5 derajat, tetapi belum Imkan rukyat. Pada akhir Ramadhan tersebut
ada laporan rukyat dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama
setelah memperhatikan pandangan sebagian besar peserta sidang isbat, ditolak
dengan alasan belum imkan rukyat). Atau
kesaksian itu berbeda dengan rekaman alat-alat rukyat yang ada saat melakukan
rukyat. Misalkan, ada yang bersaksi melihat hilal, padahal ditempat yang sama
ala-alat rukyat baik teleskop, binokuler, teodolit dengan berbagai sensor
kamera, tidak ada yang berhasil mengambil citra hilal. Baik karena cuaca
mendung atau karena cahaya sabit Bulan muda memang belum bisa dilihat (not
visible).
Kesaksian-kesaksian seperti di
atas bisa ditolak, karena kemungkinan besar bahwa yang dilihatnya bukan hilal.
Terjadi kesalahan identifikasi pada si perukyat. Penolakan rukyat yang bertentangan
dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh
“rukyat jangka panjang”. Bukan tidak percaya pada si perukyat.
Sehingga, bila jaman Rasul
untuk “mencari kebenaran apakah yang dilihat si perukyat itu benar-benar
hilal”, hanya mempertimbangkan aspek ‘Adalah si Perukyat, dijaman
ini untuk“mencari kebenaran apakah yang dilihat si perukyat itu benar-benar
hilal”, dapat dengan mempertimbangkan 2 aspek sekaligus ‘Adalah dan Dhabt
si perukyat.
‘Adalah dalam
hal ini adalah kejujuran si perukyat. Sementara
Dhabt adalah kebenaran objek yang dilihat si perukyat.
Pembuktian ada tidak adanya
hilal hanya dengan mengandalkan ‘adalah si perukyat akan sangat rawan
sekali. Mengingat ada beberapa kekurangan dalam metode rukyat diantaranya:
- · Jauhnya jarak hilal (Bulan) dari permukaan bumi (berjarak 384.000 Km), sementara Bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75% sangatlah besar;
- · Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat;
- · Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan Rukyat hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemunculan hilal sangat singkat maka rukyat harus dilaksanakan secepat mungkin setelah Matahari terbenam. Pada saat itu meskipun Matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris mengalahkan cahaya hilal yang sangat redup;
- · Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kendaraan, asap pabrik, dan lain lain;
- · Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah Matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya Matahari;
- · Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Meskipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optic maupun listrik−namun jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil dan tipis bahkan redup.
Dengan demikian, sangat bijak
sekali, bahwa dalam mempertimbangkan kesaksian hilal untuk jaman ini, memperhatikan
dua aspek dengan setimbang, yakni ‘adalah dan dhabt si perukyat.
Dengan pertimbangan di atas
maka di Persis di tetapkan kebijakan syarat penerimaan laporan keterlihatan
hilal sebagaimana tercantum dalam Hasil Musyawarah Dewan Hisab dan Rukyat Nomor
003/PP-C.1/A.3/2011. Bahwa: “Hasil rukyat tersebut dapat kita terima dengan
syarat kesaksian lebih dari satu tempat dan dibuktikan dengan citra visual
hilal”. Hal ini merupakan implemantasi upaya penyeimbangan antara ‘adalah
dan dhabt si perukyat dalam penerimaan laporan rukyat seperti dibahas di
atas.
[1]Syahadat menandakan bahwa dia seorang
Muslim. Dalam Islam dilarang berdusta. Maka ketika dia Syahadat, kemungkinan
besar dia tidak berdusta.
[2]Dengan kesaksian minimal 2 orang atau 1
orang tapi kredibel (sudah dikenal kejujurannya), maka kemungkinan besar
kesaksiannya bukan dusta.
No comments